Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) menggugat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan ini diajukan karena mereka menilai proses pembentukan undang-undang tersebut cacat secara formil dan melanggar asas keterbukaan.
Kuasa hukum mahasiswa UI, Muhammad, menyampaikan argumennya dalam sidang di Gedung MK. Ia menjelaskan bahwa pembentukan UU TNI tidak melibatkan partisipasi publik yang seharusnya menjadi bagian penting dari proses legislasi. Menurutnya, tidak ada penyebarluasan draf RUU secara resmi kepada publik sebelum disahkan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Wakil Ketua DPR RI yang menyatakan bahwa draf RUU TNI yang beredar di masyarakat bukanlah draf yang dibahas oleh Komisi I DPR RI.
Kenapa Partisipasi Publik Penting dalam Pembentukan Undang-Undang?
Partisipasi publik sangat krusial dalam pembentukan undang-undang karena menjamin bahwa aspirasi dan kepentingan masyarakat terakomodasi. Undang-undang yang dibuat tanpa melibatkan publik berpotensi tidak relevan atau bahkan merugikan masyarakat. Asas keterbukaan, yang diatur dalam Pasal 96 UU Nomor 13 Tahun 2022, memberikan hak kepada masyarakat untuk memberikan masukan secara lisan maupun tertulis dalam setiap pembentukan UU.
Muhammad juga menyoroti bahwa Presiden mengajukan surat permohonan memasukkan RUU TNI dalam prolegnas prioritas tanpa melalui proses perencanaan awal. Selain itu, pemerintah tidak mengajukan naskah akademik yang baru, melainkan menggunakan naskah akademik lama yang disusun pada periode 2020-2024. Naskah akademik ini pun disampaikan bersamaan dengan permohonan memasukkan RUU TNI ke prolegnas.
Menurutnya, RUU TNI juga tidak masuk dalam prolegnas prioritas tahun 2025 dan tidak termasuk dalam daftar carry over sebagaimana diatur dalam pasal 71a UU P3. Seharusnya, RUU ini disusun ulang dari tahap awal, termasuk naskah akademiknya.
Kapan Pemerintah dan DPR Boleh Mengajukan RUU di Luar Prolegnas?
Pemerintah dan DPR dapat mengajukan RUU di luar prolegnas hanya jika terdapat keadaan mendesak atau bencana alam. Namun, dalam kasus RUU TNI, pemohon menilai tidak ada keadaan mendesak yang membenarkan pengajuan RUU di luar prolegnas.
Dalam petitumnya, mahasiswa UI meminta MK untuk membatalkan UU TNI. Mereka berpendapat bahwa UU Nomor 3 Tahun 2025 tentang perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selain itu, pemohon juga meminta MK memutuskan agar UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI berlaku kembali. Mereka ingin ketentuan norma dalam UU yang telah diubah, dihapus, atau yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI diberlakukan kembali.
Apa Konsekuensi Jika UU Dibatalkan oleh MK?
Jika MK membatalkan suatu undang-undang, maka undang-undang tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Hal ini berarti semua tindakan yang didasarkan pada undang-undang tersebut menjadi tidak sah. Dalam kasus UU TNI, jika MK mengabulkan permohonan mahasiswa UI, maka UU Nomor 3 Tahun 2025 akan dibatalkan dan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI akan berlaku kembali.
Kasus ini menjadi sorotan karena menyangkut proses legislasi yang transparan dan partisipatif. Putusan MK akan menjadi preseden penting dalam pembentukan undang-undang di Indonesia, khususnya terkait dengan keterlibatan publik dan kepatuhan terhadap prosedur yang telah ditetapkan.