Kebijakan terkait tentara transgender di Amerika Serikat kembali menjadi sorotan. Pentagon mengumumkan akan segera memulai proses pemberhentian sekitar seribu tentara transgender. Langkah ini merupakan tindak lanjut dari perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh mantan Presiden Donald Trump.
Menurut memo dari Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, departemen militer akan segera memulai proses pemisahan bagi anggota militer yang sebelumnya mengidentifikasi diri untuk pemisahan sukarela sebelum tanggal 26 Maret 2025. Artinya, tentara transgender yang ingin mengundurkan diri secara sukarela diberi kesempatan hingga tanggal tersebut.
Namun, bagi tentara transgender yang tidak mengundurkan diri secara sukarela, militer AS akan memberlakukan pemberhentian paksa mulai awal Juni mendatang. Kebijakan ini tentu menimbulkan pertanyaan dan kekhawatiran di kalangan komunitas transgender dan pendukung hak-hak mereka.
Apa yang Mendasari Kebijakan Kontroversial Ini?
Perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh mantan Presiden Trump pada Januari lalu menjadi dasar dari kebijakan ini. Dalam perintah tersebut, Trump menyatakan bahwa mengungkapkan ‘identitas gender’ yang berbeda dari jenis kelamin seseorang dianggap tidak memenuhi standar ketat yang diperlukan untuk dinas militer. Argumen ini didasarkan pada keyakinan bahwa kondisi tersebut dapat mempengaruhi kesiapan dan efektivitas militer.
Juru bicara Pentagon, Sean Parnell, menjelaskan bahwa sekitar seribu tentara yang teridentifikasi memiliki diagnosis disforia gender termasuk dalam kategori yang akan diberhentikan. Disforia gender sendiri merupakan kondisi di mana seseorang merasa tidak nyaman atau tertekan karena adanya ketidaksesuaian antara jenis kelamin biologisnya dengan identitas gender yang dirasakan.
Kebijakan ini tentu menuai kritik dari berbagai pihak yang menganggapnya diskriminatif dan tidak adil. Mereka berpendapat bahwa identitas gender seseorang seharusnya tidak menjadi penghalang untuk mengabdi kepada negara.
Bagaimana Nasib Tentara Transgender yang Bertugas Saat Ini?
Memo dari Menteri Pertahanan AS menyebutkan bahwa tentara dengan diagnosis disforia gender yang tidak secara sukarela meninggalkan tugas aktifnya hingga 6 Juni mendatang, dan hari berikutnya untuk pasukan cadangan, akan diberhentikan. Setelah masa kelayakan identifikasi diri berakhir, departemen militer akan memulai proses pemisahan secara tidak sukarela.
Menurut seorang pejabat senior pertahanan AS, terdapat total 4.240 tentara aktif yang saat ini bertugas dengan diagnosis tersebut, setidaknya hingga akhir tahun lalu. Nasib ribuan tentara ini kini berada di ujung tanduk, menunggu keputusan akhir dari militer.
Mahkamah Agung AS sendiri telah menjatuhkan putusan bahwa larangan tersebut dapat diberlakukan, sementara litigasi gugatan terhadapnya masih berproses. Hal ini semakin memperkuat posisi pemerintah untuk memberlakukan kebijakan tersebut.
Apa Dampak Jangka Panjang dari Kebijakan Ini?
Kebijakan ini berpotensi menciptakan iklim ketidakpastian dan ketakutan di kalangan tentara transgender. Mereka mungkin merasa tidak aman dan tidak dihargai, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi moral dan kinerja mereka. Selain itu, kebijakan ini juga dapat merusak citra militer AS sebagai institusi yang inklusif dan menghargai keberagaman.
Perubahan kebijakan dinas militer bagi warga AS yang transgender memang mengalami ketidakpastian dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintahan Partai Demokrat di bawah mantan Presiden Joe Biden sebelumnya berusaha mengizinkan mereka untuk bertugas secara terbuka, sementara Trump berupaya mengeluarkan mereka dari militer. Perubahan kebijakan yang terus-menerus ini tentu membingungkan dan meresahkan bagi para tentara transgender.
Dampak jangka panjang dari kebijakan ini masih belum jelas. Namun, satu hal yang pasti, kebijakan ini akan terus menjadi perdebatan dan sorotan publik, serta berpotensi memicu gugatan hukum lebih lanjut.
Kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana militer akan menangani kasus-kasus di mana seorang tentara mengidentifikasi diri sebagai transgender setelah bergabung dengan militer. Apakah mereka akan diizinkan untuk tetap bertugas, atau akan dipaksa untuk mengundurkan diri?
Selain itu, kebijakan ini juga dapat mempengaruhi upaya rekrutmen militer. Apakah orang-orang transgender akan enggan untuk bergabung dengan militer jika mereka tahu bahwa mereka dapat diberhentikan karena identitas gender mereka?
Pada akhirnya, kebijakan ini akan berdampak pada kehidupan ribuan tentara transgender dan keluarga mereka. Mereka mungkin harus menghadapi diskriminasi, pengangguran, dan kesulitan keuangan. Penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk memberikan dukungan dan sumber daya yang mereka butuhkan untuk mengatasi tantangan ini.