Sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini menyoroti isu penting dalam dunia pendidikan kedokteran spesialis (PPDS): perundungan atau bullying. Hakim MK, Enny Nurbaningsih, secara langsung menanyakan kepada beberapa dokter spesialis mengenai kebenaran informasi yang beredar tentang kekerasan fisik dan verbal yang dialami oleh para dokter yang sedang menempuh pendidikan PPDS.
Pertanyaan ini muncul karena adanya kekhawatiran bahwa praktik perundungan dapat memengaruhi kualitas pendidikan dan bahkan keselamatan pasien. Enny menekankan bahwa masalah ini menyangkut kesehatan dan nyawa, sehingga kejujuran dalam memberikan jawaban sangatlah penting.
Benarkah Ada Perundungan dalam Pendidikan Dokter Spesialis?
Dokter spesialis anak dari RSCM, Piprim Basarah Yanuarso, memberikan jawaban yang cukup melegakan. Ia menyatakan bahwa selama menjalani pendidikan PPDS di FK UI RSCM, ia tidak pernah mengalami bullying. Piprim menjelaskan bahwa beban kerja yang berat, seperti harus menginap di rumah sakit untuk mempersiapkan ronde pasien, adalah risiko yang biasa dihadapi oleh para dokter spesialis, dan bukan termasuk dalam kategori bullying.
Namun, Piprim mengakui bahwa tekanan dalam pendidikan PPDS memang tinggi. Tuntutan untuk selalu sempurna dan tidak boleh melakukan kesalahan demi kepentingan pasien menjadi tantangan tersendiri. Hal ini menuntut dedikasi dan pengorbanan yang besar dari para dokter yang sedang menempuh pendidikan spesialis.
Bagaimana Cara Menciptakan Lingkungan Pendidikan PPDS yang Kondusif?
Dokter jantung dari Rumah Sakit Harapan Kita, Renan Sukmawan, berbagi pengalamannya sebagai Ketua Program Studi Jantung dan Pembuluh Darah. Ia mengungkapkan bahwa salah satu faktor yang membuat lingkungan pendidikan di RS Harapan Kita kondusif adalah pemberian honor kepada peserta PPDS, meskipun mereka membayar uang kuliah ke universitas. Hal ini meningkatkan kesejahteraan peserta dan mengurangi potensi terjadinya praktik-praktik yang tidak sehat, seperti pemerasan uang.
Renan menekankan pentingnya menciptakan lingkungan yang suportif dan bebas dari tekanan finansial. Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar peserta PPDS, mereka dapat lebih fokus pada pendidikan dan pengembangan diri, tanpa harus khawatir tentang masalah keuangan.
Apa Dampak Perundungan Terhadap Kualitas Pendidikan Dokter Spesialis?
Meskipun ada bantahan mengenai praktik bullying secara langsung, isu ini tetap menjadi perhatian serius. Jika praktik perundungan benar-benar terjadi, dampaknya bisa sangat merugikan. Dokter yang mengalami kekerasan fisik atau verbal dapat mengalami stres, depresi, dan bahkan trauma. Hal ini tentu akan memengaruhi kemampuan mereka dalam belajar dan memberikan pelayanan kepada pasien.
Selain itu, budaya perundungan juga dapat menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat dan tidak profesional. Dokter yang menjadi korban bullying mungkin akan merasa takut untuk berbicara atau mengajukan pertanyaan, sehingga menghambat proses pembelajaran dan pengembangan diri. Pada akhirnya, hal ini dapat berdampak negatif pada kualitas pelayanan kesehatan secara keseluruhan.
Oleh karena itu, penting bagi semua pihak yang terlibat dalam pendidikan PPDS, termasuk universitas, rumah sakit, dan para senior, untuk menciptakan lingkungan yang aman, suportif, dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Dengan demikian, para dokter spesialis dapat belajar dan berkembang dengan optimal, serta memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Dokter spesialis bedah saraf dari Universitas Diponegoro (Undip), Zainal Muttaqin, juga turut memberikan pandangannya dalam sidang tersebut. Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan adanya bullying, ia menekankan pentingnya menjaga etika dan profesionalisme dalam pendidikan PPDS. Zainal juga menyoroti perlunya pengawasan yang ketat terhadap praktik-praktik yang berpotensi merugikan peserta PPDS.