Mahkamah Agung (MA) tengah berupaya membenahi diri. Salah satu langkahnya adalah dengan mengeluarkan aturan yang melarang gaya hidup hedonis bagi para hakim dan aparatur peradilan umum. Aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2025 yang bertujuan untuk menjaga marwah peradilan dan meningkatkan kepercayaan publik.
Seorang anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Golkar, Soedeson Tandra, memberikan tanggapannya terkait aturan baru ini. Ia mengapresiasi langkah MA, namun menekankan bahwa aturan tersebut hanyalah bagian kecil dari permasalahan yang lebih besar. Menurutnya, akar masalahnya terletak pada proses rekrutmen dan penempatan hakim yang belum sepenuhnya transparan dan berdasarkan meritokrasi.
Kenapa Hakim Terjebak Gaya Hidup Hedon?
Soedeson berpendapat bahwa gaya hidup hedonis hanyalah ekses dari persoalan yang lebih mendasar. Ia menekankan pentingnya pembenahan dari hulu, yaitu sejak proses rekrutmen. Jika hakim direkrut secara transparan dan ditempatkan berdasarkan kemampuan dan integritas, maka gaya hidup hedonis tidak akan menjadi masalah.
Ia juga menyoroti pentingnya pengawasan terhadap implementasi aturan tersebut. Pertanyaannya, pengawasannya bagaimana, gaya hidup hedon itu bagaimana? ujarnya. Ia khawatir aturan tersebut hanya akan menjadi formalitas belaka dan tidak berdampak signifikan jika tidak ada pengawasan yang ketat.
Dalam surat edaran tersebut, terdapat beberapa poin yang harus dihindari oleh seluruh aparatur peradilan umum beserta keluarganya, antara lain:
- Menghindari gaya hidup yang berfokus pada kesenangan dan kepuasan tanpa batas (hedonisme).
- Melaksanakan acara pribadi/keluarga dengan sederhana dan tidak berlebihan, serta tidak dilaksanakan di lingkungan kantor dan tidak menggunakan fasilitas kantor.
- Menggunakan fasilitas dinas hanya untuk menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsi.
- Menolak pemberian hadiah/keuntungan yang berhubungan dengan jabatan.
- Membatasi perjalanan ke luar negeri di luar tugas kedinasan.
- Menghindari tempat yang dapat mencemarkan kehormatan peradilan.
- Tidak memberikan pelayanan dalam bentuk apapun kepada pejabat/pegawai Direktorat Badan Peradilan Umum yang berkunjung ke daerah.
Bagaimana Seharusnya MA Berubah?
Soedeson mendorong MA untuk melakukan perubahan yang mendasar, terutama dalam hal rekrutmen dan penempatan hakim. Ia menekankan pentingnya transparansi dan meritokrasi dalam proses tersebut. Yang kami minta dari Mahkamah Agung yaitu, satu, rekrutmen yang transparan. Kedua, penempatan yang transparan, yang adil, tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya promosi bagi hakim yang bermoral dan berdedikasi. Sebaliknya, hakim yang nakal seharusnya tidak dipromosikan. Yang bermoral baik, berdedikasi baik, dipromosikan. Yang nakal, jangan dipromosikan, ujarnya.
Apakah Aturan Ini Akan Efektif?
Efektivitas aturan ini sangat bergantung pada komitmen MA untuk melakukan pengawasan yang ketat dan perubahan yang mendasar dalam sistem rekrutmen dan penempatan hakim. Jika MA hanya fokus pada aturan formal tanpa melakukan perubahan yang substansial, maka aturan ini kemungkinan besar tidak akan efektif.
Soedeson berharap MA dapat benar-benar mengubah diri dan menciptakan sistem peradilan yang lebih bersih, transparan, dan berintegritas. Ia yakin bahwa dengan sistem yang baik, hakim yang bermoral dan berdedikasi akan secara otomatis menghindari gaya hidup hedonis.
Perubahan di tubuh MA adalah sebuah proses panjang yang membutuhkan komitmen dan kerja keras dari semua pihak. Aturan tentang gaya hidup sederhana hanyalah salah satu langkah kecil dalam upaya mewujudkan peradilan yang lebih baik.