NU dan Ponpes di Bekasi Keberatan Soal Kebijakan Ijazah Dedi Mulyadi

Kebijakan baru terkait penyerahan ijazah siswa di Jawa Barat menuai protes keras dari berbagai kalangan, terutama dari pengurus pesantren dan organisasi keagamaan. Kebijakan ini dianggap tidak melibatkan unsur-unsur terkait dan berpotensi membawa dampak buruk bagi dunia pendidikan, khususnya bagi pesantren.

Ketua Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kabupaten Bekasi, HM Syauqi, menyayangkan kebijakan ini karena dianggap tidak partisipatif. Menurutnya, pendidikan gratis memang hak seluruh warga negara dan menjadi tanggung jawab pemerintah, namun apakah pemerintah sudah mampu memenuhi kewajibannya tanpa peran serta sekolah swasta, terutama pesantren?

Pengasuh Pondok Pesantren Yapink Pusat, KH Kholid, menegaskan bahwa pesantren telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka dan sejak awal fokus berkontribusi bagi masyarakat melalui pendidikan mandiri. Kebijakan ini justru menimbulkan keresahan, khususnya di kalangan pesantren, dan berpotensi mengganggu proses belajar mengajar.

Kenapa Kebijakan Ini Dianggap Meresahkan Pesantren?

Kebijakan ini dikhawatirkan akan berdampak pada keberlangsungan pesantren. Bahkan, ada ancaman bagi pesantren atau sekolah yang menolak kebijakan ini, seperti tidak akan menerima program bantuan pendidikan menengah universal (BPMU) hingga pencabutan izin operasional. Padahal, negara hanya mampu menyediakan pendidikan gratis melalui sekolah negeri sekitar 25-35 persen dari total kebutuhan.

KH Atok Romli Mustofa, Ketua PCNU Kabupaten Bekasi, menyebut kebijakan ini sangat disayangkan dan tidak berpihak pada pesantren, bahkan terkesan zalim. Ia menambahkan bahwa kebijakan ini dibuat tanpa kajian komprehensif dan partisipatif, melainkan secara spontan, intimidatif, dan intuitif.

Menurutnya, pesantren memiliki peran fundamental dalam sistem pendidikan Indonesia, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Pesantren mendidik dan membina santri selama 24 jam penuh, tidak hanya di sekolah. Kebijakan ini berpotensi menghambat pengelolaan pesantren dalam jangka pendek dan menyebabkan banyak pesantren gulung tikar karena masalah finansial.

Apa Dampak Jangka Panjang Kebijakan Ini?

Dampak jangka panjang yang lebih serius adalah potensi degradasi akhlak. Syauqi menganalogikan dengan teori kebutuhan Abraham Maslow, di mana pesantren telah memberikan kebutuhan fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri kepada semua santri tanpa memandang status sosial. Jika kebijakan ini terus berlanjut, cita-cita untuk mewujudkan generasi emas bisa jadi tidak akan tercapai.

PCNU Kabupaten Bekasi bersama pengurus pesantren telah melakukan audiensi dengan pimpinan DPRD Jawa Barat untuk menyampaikan aspirasi mereka. Mereka berharap ada dorongan kepada Gubernur Jawa Barat untuk memperhatikan pesantren dan merevisi atau membuat pengecualian kebijakan terhadap pesantren.

Bagaimana Pesantren Memenuhi Kebutuhan Operasionalnya?

Pesantren mengeluarkan biaya yang sangat besar secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya. Banyak alumni dari berbagai latar belakang datang ke pesantren untuk meminta hak mereka berdasarkan arahan Gubernur Jawa Barat. Di Kabupaten Bekasi saja, satu pesantren bisa mengeluarkan Rp 1-1,7 miliar uang yang belum dilunasi oleh para alumni.

Kebijakan ini juga dikhawatirkan dapat merusak hubungan antara santri dan pesantren. Seolah-olah pemerintah sedang mengadu domba santri dengan pesantren yang menahan ijazah. Solusi dari masalah yang timbul akibat kebijakan ini sangat dibutuhkan agar tidak merugikan pesantren dan dunia pendidikan secara keseluruhan.

More From Author

Prospek Lulusan TKJ di Era Digital: Apa Masih Relevan?

Prospek Lulusan TKJ di Era Digital: Apa Masih Relevan?

Kenapa Pendidikan Karakter Penting Banget di Sekolah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *