Pemilihan ketua kolegium, sebuah proses penting dalam dunia kedokteran, tengah menjadi sorotan. Dokter spesialis bedah saraf, Zainal Muttaqin, mengungkapkan adanya kejanggalan dalam proses pemilihan yang menurutnya berbeda dari mekanisme sebelumnya. Hal ini diungkapkan dalam sidang perkara nomor 111/PUU-XXII/2024 di Mahkamah Konstitusi.
Zainal menjelaskan bahwa dulu, pemilihan anggota profesi dan perhimpunan profesi dilakukan oleh pengelola program studi dan ketua departemen yang memiliki program studi tersebut, dengan melibatkan guru besar. Namun, kini prosesnya berubah menjadi voting oleh anggota perhimpunan, yang menurutnya bukan ahli pendidikan.
Bagaimana Proses Pemilihan Ketua Kolegium Berubah?
Menurut Zainal, pemilihan ketua kolegium saat ini menggunakan sistem voting yang mirip dengan ajang pencarian bakat. Ia menyoroti bahwa anggota yang memilih adalah anggota perhimpunan yang tidak terverifikasi. Anggota organisasi profesi tanpa ada verifikasi dengan voting model Indonesian Idol, ujarnya.
Ia mencontohkan pemilihan di bidang bedah saraf, di mana dari ribuan anggota perhimpunan, hanya sebagian kecil yang ikut memilih. Anak-anak itu jumlahnya 5.600 yang ikut milih 120 orang, kita bisa cek semuanya nanti pada semua anggota yang anggotanya besar, pemilihnya nggak sampai 2,5 persen, padahal zakat 2,5 persen, itu nggak sampai, ungkapnya.
Zainal juga menambahkan bahwa syarat untuk menjadi calon ketua kolegium kini lebih longgar. Jadi faktanya hanya syaratnya sebagai spesialis 10 tahun, tidak harus dari rumah sakit pendidikan, tidak perlu pengalaman mendidik, tidak harus guru besar dan sebagainya, imbuhnya.
Apa Dampak Perubahan Sistem Pemilihan Ini?
Perubahan sistem pemilihan ini menimbulkan kekhawatiran akan kualitas dan kompetensi ketua kolegium yang terpilih. Zainal menekankan bahwa sebelumnya, kolegium dipilih oleh ketua departemen dan kepala program studi dari anggota kolegium, bukan anggota perhimpunan.
Pemohon dalam gugatan ini, Prof Dr Djohansjah Marzoeki, mempermasalahkan tentang pemilihan kolegium yang dianggap tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Menurutnya, calon ketua kolegium seharusnya dipilih oleh kelompok ahli, bukan melalui voting oleh anggota perhimpunan.
Zainal mengutip pernyataan dari Menteri Kesehatan yang menyatakan bahwa pemilihan dilakukan berdasarkan pilihan terbanyak dari para anggota kolegium. Namun, ia mempertanyakan validitas dan representasi dari pilihan tersebut, mengingat partisipasi yang rendah dan kurangnya verifikasi anggota yang memilih.
Apa yang Diharapkan dari Putusan Mahkamah Konstitusi?
Dalam permohonannya, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal-pasal yang dipermasalahkan antara lain Pasal 451, Pasal 1 angka 26, dan Pasal 421 ayat (2) huruf b.
Pemohon juga meminta agar Mahkamah Konstitusi memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Atau, jika Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, pemohon memohon putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono).
Kasus ini menjadi perhatian karena menyangkut proses pemilihan pemimpin dalam bidang kesehatan yang krusial. Putusan Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat memberikan kejelasan dan kepastian hukum terkait mekanisme pemilihan ketua kolegium, serta memastikan bahwa proses tersebut dilakukan secara transparan, akuntabel, dan melibatkan ahli yang kompeten.