Fenomena quiet quitting atau berhenti dalam diam semakin marak di Jepang, negara yang dikenal dengan etos kerja tinggi dan loyalitas tanpa batas terhadap perusahaan. Alih-alih mengundurkan diri secara resmi, para karyawan memilih untuk bekerja sebatas deskripsi pekerjaan mereka, tanpa ambisi untuk melampaui ekspektasi atau mengejar promosi.
Istilah quiet quitting sendiri muncul pertama kali di Amerika Serikat pada tahun 2022, menggambarkan karyawan yang melakukan pekerjaan seminimal mungkin. Di Jepang, fenomena ini mencerminkan perubahan nilai dan prioritas, terutama di kalangan generasi muda.
Mengapa Karyawan Jepang Memilih Quiet Quitting?
Ada beberapa faktor yang mendorong tren ini. Salah satunya adalah perubahan lanskap ekonomi dan ketenagakerjaan. Dulu, perusahaan menawarkan gaji yang layak dan tunjangan yang memadai, sehingga karyawan merasa aman dan termotivasi untuk bekerja seumur hidup di satu perusahaan. Namun, kini banyak perusahaan yang memangkas biaya, menawarkan kontrak kerja tidak tetap, dan mengurangi bonus.
Selain itu, generasi muda Jepang semakin mempertanyakan konsep loyalitas seumur hidup terhadap satu perusahaan. Mereka melihat orang tua mereka mengorbankan kehidupan pribadi demi pekerjaan, bekerja lembur tanpa henti, dan akhirnya merasa tidak bahagia. Hal ini membuat mereka enggan mengikuti jejak yang sama.
Menurut survei, sekitar 45% pekerja di Jepang mengaku hanya melakukan pekerjaan sebatas yang diwajibkan saja. Mereka tidak tertarik dengan prospek gaji tinggi yang menuntut lebih banyak pekerjaan. Bagi mereka, keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi jauh lebih penting.
Apakah Quiet Quitting Merugikan Perusahaan?
Tentu saja, quiet quitting dapat berdampak negatif pada produktivitas dan inovasi perusahaan. Karyawan yang tidak termotivasi cenderung kurang kreatif dan kurang bersemangat dalam bekerja. Namun, di sisi lain, fenomena ini juga dapat menjadi sinyal bagi perusahaan untuk mengevaluasi kembali kebijakan dan praktik manajemen mereka.
Perusahaan perlu menciptakan lingkungan kerja yang lebih suportif, fleksibel, dan menghargai kontribusi karyawan. Mereka juga perlu menawarkan peluang pengembangan karir yang jelas dan transparan, serta memastikan bahwa karyawan merasa dihargai dan diakui atas kerja keras mereka.
Quiet Quitting: Tren Negatif atau Peluang untuk Perubahan?
Beberapa pihak melihat quiet quitting sebagai tren negatif yang mengancam etos kerja dan produktivitas. Namun, yang lain melihatnya sebagai peluang untuk perubahan positif dalam budaya kerja. Fenomena ini memaksa perusahaan untuk lebih memperhatikan kesejahteraan karyawan, menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat, dan menawarkan peluang yang lebih baik bagi karyawan untuk berkembang.
Pada akhirnya, quiet quitting adalah refleksi dari perubahan nilai dan prioritas di kalangan karyawan. Perusahaan yang mampu beradaptasi dengan perubahan ini akan lebih sukses dalam menarik dan mempertahankan talenta terbaik.
Bagi Issei, seorang pemuda berusia 26 tahun, alasan memilih quiet quitting sangat sederhana. Ia tidak membenci pekerjaannya, tetapi ia lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama teman-temannya, bepergian, atau mendengarkan musik. Baginya, hidup tidak hanya tentang bekerja, tetapi juga tentang menikmati momen-momen berharga di luar kantor.