Ibadah haji, salah satu rukun Islam, selalu menjadi momen sakral bagi umat Muslim di seluruh dunia. Namun, dengan jutaan jemaah yang berkumpul, tantangan logistik dan keamanan menjadi perhatian utama. Salah satu solusi yang diterapkan adalah skema murur dan tanazul, khususnya bagi jemaah lansia, disabilitas, dan berisiko tinggi.
Apa Itu Skema Murur dan Tanazul dalam Ibadah Haji?
Skema murur adalah strategi yang memungkinkan jemaah haji untuk melewati Muzdalifah tanpa harus turun dari bus. Mereka langsung dibawa menuju Mina. Sementara itu, tanazul adalah kebijakan yang memungkinkan jemaah untuk meninggalkan Mina lebih awal. Kedua skema ini bertujuan untuk mengurangi kepadatan di area-area kunci selama pelaksanaan ibadah haji.
Pemerintah, melalui Kementerian Agama (Kemenag), menerapkan skema ini dengan pertimbangan matang. Area Muzdalifah yang terbatas menjadi alasan utama. Dengan jumlah jemaah yang sangat besar, tidak mungkin bagi semua orang untuk bermalam di sana secara bersamaan. Skema murur diharapkan dapat mempermudah pergerakan jemaah ke Mina, terutama bagi mereka yang membutuhkan perhatian khusus.
Dasar hukum dari skema ini juga diperkuat oleh pandangan beberapa mazhab, seperti Mazhab Hanafi, yang menyatakan bahwa mabit (bermalam) di Muzdalifah hukumnya sunnah, bukan wajib. Ulama Mesir juga memberikan fatwa yang membolehkan murur karena kondisi yang tidak memungkinkan bagi semua jemaah untuk berada di Muzdalifah secara bersamaan.
Skema murur dan tanazul bukan hal baru. Skema murur sudah diterapkan sejak tahun sebelumnya untuk mengurai kepadatan di Muzdalifah. Kemenag menargetkan puluhan ribu jemaah haji akan diikutkan dalam skema ini. Selain itu, ribuan jemaah yang tinggal di hotel-hotel tertentu juga akan mengikuti tanazul.
Siapa Saja yang Diprioritaskan dalam Skema Ini?
Prioritas utama dalam skema murur dan tanazul adalah jemaah lansia, disabilitas, dan mereka yang memiliki risiko kesehatan tinggi. Pertimbangan ini didasarkan pada kondisi fisik dan kesehatan jemaah, yang mungkin rentan terhadap risiko akibat kepadatan dan kondisi lingkungan yang ekstrem.
Selain itu, alasan syar’i juga menjadi pertimbangan. Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad SAW pernah memberikan izin kepada sahabat-sahabat yang bertugas memberi makan, menggembala, atau perempuan yang khawatir mengalami haid lebih awal untuk tidak mabit di Muzdalifah. Hal ini menunjukkan adanya fleksibilitas dalam pelaksanaan ibadah haji, terutama dalam kondisi yang mendesak.
Apakah Skema Ini Sah Secara Hukum Islam?
Muncul pertanyaan, apakah skema murur dan tanazul ini sah secara hukum Islam? Menurut para ahli fikih, termasuk Mustasyar Diny PPIH, KH M Ulinnuha, skema ini dibolehkan dalam fikih haji. Dasar hukumnya adalah pandangan Mazhab Hanafi yang menyatakan bahwa mabit di Muzdalifah dan Mina hukumnya sunnah.
Dengan demikian, jemaah yang mengikuti skema murur dan tanazul tidak perlu khawatir tentang keabsahan ibadah hajinya. Asalkan niat, kesehatan, dan kekhusyukan tetap dijaga, serta memohon kepada Allah SWT agar dikaruniai haji yang mabrur, ibadah haji tetap sah dan diterima.
Kemenag berharap bahwa penerapan skema ini akan memberikan kemudahan bagi jemaah haji, terutama mereka yang membutuhkan perhatian khusus. Dengan mengurangi kepadatan di area-area kunci, diharapkan pergerakan jemaah menjadi lebih lancar dan aman.
Ibadah haji adalah perjalanan spiritual yang membutuhkan persiapan fisik dan mental yang matang. Dengan adanya skema murur dan tanazul, diharapkan jemaah dapat melaksanakan ibadah dengan lebih nyaman dan khusyuk, serta kembali ke tanah air dengan membawa haji yang mabrur.