Penyitaan yang dilakukan terkait kasus timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 ternyata tidak terlalu berdampak signifikan terhadap pendapatan para pedagang di sebuah rest area di ruas Tol Jagorawi. Beberapa pekerja di sana mengungkapkan hal ini, meskipun mereka juga berharap agar rest area tersebut tidak ditutup karena menyangkut mata pencaharian mereka.
Edo, seorang penjaga warung, mengatakan bahwa penyitaan tersebut tidak mempengaruhinya karena saat kejadian, ia sedang tidak bertugas. Ia menambahkan bahwa warungnya bisa mendapatkan sekitar Rp 700 ribu pada hari biasa, dan bahkan lebih dari Rp 1 juta saat akhir pekan. Memang kalau hari biasa sepi, paling weekend ramenya, ujarnya.
Angga, penjaga kios isi ulang uang elektronik, juga menyampaikan hal serupa. Ia sedang tidak berjaga saat penyitaan terjadi dan merasa bahwa kejadian tersebut tidak terlalu berpengaruh pada pendapatannya. Nggak, lagi beda shift (saat penyitaan), katanya.
Kenapa Penyitaan Tidak Terlalu Berpengaruh pada Pedagang?
Beberapa faktor mungkin menjadi penyebab mengapa penyitaan ini tidak terlalu berdampak pada pedagang. Pertama, banyak dari mereka adalah pekerja yang menggantungkan hidupnya di sana, bukan pemilik usaha. Kedua, mayoritas pengunjung rest area adalah kendaraan besar seperti truk, yang tetap membutuhkan tempat istirahat dan makan meskipun ada penyitaan. Ketiga, seperti yang diungkapkan Edo, dampak mungkin lebih terasa bagi warga sekitar yang memiliki usaha di sana, sementara banyak pekerja adalah perantau.
Mawar, seorang penjaga warung makan, juga sependapat dengan kedua pekerja sebelumnya. Ia mengatakan bahwa warungnya selalu ramai pengunjung setiap hari, terlepas dari adanya penyitaan. Ia juga berharap agar rest area tidak ditutup karena akan berdampak pada mata pencahariannya. (Saat tanggal merah) Tergantung tanggal merahnya, kalau akhir bulan mah biasa, ujarnya.
Lalu, Kenapa Rest Area Tidak Ditutup?
Kejaksaan Agung (Kejagung) menjelaskan alasan mengapa rest area tersebut masih beroperasi. Menurut Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar, rest area tersebut dikelola oleh PT Karya Surya Ide Gemilang dan PT Graha Tunas Selaras, yang memiliki keterkaitan dengan CV Venus Inti Perkasa (VIP), tersangka korporasi dalam kasus korupsi timah. CV VIP sendiri dimiliki oleh Tamron alias Aon (TN), yang juga merupakan tersangka dalam kasus yang sama.
Harli menjelaskan bahwa Tamron hanya memiliki tanah dan membangun kios-kios yang kemudian disewakan kepada pihak lain. Bahwa ada beberapa usaha-usaha di sana, tetapi bukan dilakukan oleh yang bersangkutan. Jadi yang bersangkutan itu hanya memiliki tanah, kemudian mungkin membangun beberapa kios-kios atau katakanlah sejenisnya dan ini disewakan, jelas Harli.
Karena sistem sewa-menyewa inilah, operasional rest area masih berjalan. Kejagung juga akan memperhatikan tenggat waktu kontrak para pelaku usaha yang ada di sana. Oleh karenanya, proses (penyegelan) ini terus berlangsung. Karena kan dia melakukan sewa-menyewa dengan pihak lain, imbuh Harli.
Apa yang Bisa Dipelajari dari Kasus Ini?
Kasus ini menyoroti kompleksitas dampak dari tindakan hukum terhadap berbagai pihak. Meskipun penyitaan dilakukan untuk menindak kasus korupsi timah, dampaknya terhadap pedagang kecil di rest area tidak terlalu signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa perlu adanya pertimbangan yang matang dan solusi yang adil agar tindakan hukum tidak merugikan masyarakat kecil yang menggantungkan hidupnya pada usaha-usaha tersebut.
Selain itu, kasus ini juga membuka mata kita tentang bagaimana sistem kepemilikan dan pengelolaan usaha dapat mempengaruhi dampak dari suatu tindakan hukum. Dalam kasus ini, sistem sewa-menyewa memungkinkan rest area tetap beroperasi meskipun pemilik tanah terlibat dalam kasus korupsi.
Semoga informasi ini memberikan gambaran yang jelas tentang situasi terkini di rest area tersebut dan dampaknya terhadap para pedagang.