Pernahkah kamu merasa seperti dipaksa untuk selalu berpikir positif, bahkan saat sedang merasa sedih atau terpuruk? Mungkin kamu sedang berhadapan dengan yang namanya toxic positivity. Istilah ini mengacu pada situasi di mana seseorang seolah mengharuskan orang lain untuk melihat sisi baik dari segala hal, tanpa memberi ruang bagi mereka untuk mengekspresikan perasaan yang sebenarnya.
Toxic positivity berbeda dengan empati. Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan apa yang orang lain rasakan, tanpa menghakimi. Sementara toxic positivity justru menolak atau meniadakan perasaan negatif seseorang.
Kenapa Memaksakan Diri untuk Selalu Positif Justru Berbahaya?
Memaksakan diri untuk terus mengatakan aku baik-baik saja, padahal hati sedang hancur, justru bisa memperburuk keadaan. Sebuah penelitian dalam Psychological Science menunjukkan bahwa menyangkal perasaan negatif hanya akan membuat seseorang semakin terpuruk. Emosi sebenarnya adalah sinyal penting yang memberitahu kita tentang apa yang sedang terjadi. Mengabaikannya sama saja dengan mengabaikan informasi berharga.
Menghindari emosi negatif bisa membuat kita kehilangan informasi penting tentang diri kita dan lingkungan sekitar. Validasi, yaitu mengakui dan menerima perasaan seseorang sebagai sesuatu yang nyata, justru jauh lebih bermanfaat. Ketika seseorang merasa didengarkan dan dipahami, mereka akan merasa lebih baik.
Bagaimana Cara Menghindari Toxic Positivity Saat Berinteraksi dengan Orang Lain?
Pernahkah kamu curhat ke teman, lalu dia malah bilang, Ah, masalahmu belum seberapa dibandingkan aku? Atau mungkin kamu sering mendengar kalimat-kalimat seperti, Bersyukurlah, di luar sana banyak yang lebih susah dari kamu? Kalimat-kalimat seperti ini, meskipun mungkin dimaksudkan untuk menghibur, justru bisa menjadi contoh toxic positivity.
Alih-alih memberikan solusi atau nasihat yang terkesan menggurui, cobalah untuk mendengarkan dengan penuh perhatian dan memberikan validasi. Biarkan orang tersebut meluapkan perasaannya tanpa dihakimi. Ingat, tidak semua orang curhat untuk mencari solusi. Kadang, mereka hanya butuh didengarkan dan dipahami.
Apa yang Bisa Kita Pelajari dari Fenomena Sobat Ambyar dan Didi Kempot?
Fenomena Sobat Ambyar dan mendiang Didi Kempot mengajarkan kita tentang pentingnya menerima dan mengekspresikan kesedihan. Didi Kempot, sang Lord of Broken Heart, selalu mengajak penontonnya untuk melepas beban dan merayakan kesedihan melalui lagu-lagunya. Baginya, tidak ada yang salah dengan bersedih dan menangis.
Lagu-lagu Didi Kempot menjadi wadah bagi banyak orang untuk menumpahkan kegundahan yang selama ini mereka pendam. Di konsernya, kita bisa melihat orang-orang menangis dan bernyanyi bersama, merasa terhubung dan tidak sendirian dalam kesedihan mereka. Ini adalah contoh bagaimana seni bisa menjadi sarana untuk memproses emosi dan menemukan kekuatan dalam kerentanan.
Kita tidak perlu selalu menjadi orang yang kuat dan bahagia. Manusiawi jika kita merasa sedih, marah, atau kecewa. Mengakui dan menerima emosi-emosi ini adalah langkah penting untuk menjaga kesehatan mental kita. Belajarlah dari Didi Kempot, lampiaskan saja kesedihanmu. Air mata diciptakan bukan tanpa alasan.
Bagi kamu yang sering menjadi tempat curhat teman, hindari toxic positivity. Berikan mereka ruang untuk mengekspresikan perasaannya tanpa dihakimi. Mungkin kamu adalah satu-satunya orang yang mereka percaya untuk menceritakan masalahnya. Jadilah pendengar yang baik dan berikan validasi. Seperti kata Didi Kempot, Ora masalah, sing penting happy! (Tidak masalah, yang penting bahagia!). Tapi ingat, bahagia yang sejati adalah bahagia yang lahir dari penerimaan diri dan emosi yang kita rasakan.