Program Satu Juta Rumah yang dicanangkan pemerintah terus menunjukkan perkembangan. Pada awal Desember 2017, Kementerian PUPR mencatat telah terbangun 765.120 unit rumah. Kabar baiknya, sebagian besar, sekitar 70% atau 619.868 unit, diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Sisanya, 30% atau 145.252 unit, adalah rumah non-MBR.
Program ini sendiri melibatkan berbagai pihak. Sekitar 20% pembangunan dilakukan langsung oleh Kementerian PUPR melalui rusunawa, rumah khusus, rumah swadaya, dan bantuan stimulan prasarana dan utilitas (PSU). Kemudian, 30% lainnya dibangun oleh pengembang perumahan subsidi yang mendapatkan fasilitas KPR FLPP, subsidi selisih bunga, dan bantuan uang muka. Sisanya dipenuhi oleh pengembang rumah non-subsidi.
Ketua Umum Apersi, Junaidi Abdillah, mengungkapkan bahwa rumah tapak masih menjadi favorit masyarakat menengah ke bawah. Kontribusi mereka terhadap total penjualan properti mencapai 70%, dengan serapan sekitar 200.000 unit. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat menjadi 250.000 unit.
Kenapa Rumah Tapak Masih Jadi Pilihan Utama?
Rumah tapak menawarkan beberapa keunggulan yang membuatnya tetap diminati. Selain memberikan rasa memiliki lahan, rumah tapak juga seringkali lebih fleksibel dalam hal renovasi dan pengembangan di masa depan. Bagi sebagian orang, memiliki halaman atau taman kecil juga menjadi daya tarik tersendiri.
Namun, ada isu menarik yang muncul terkait luas rumah subsidi. Sempat beredar draf Keputusan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Nomor/KPTS/M/2025 yang mengindikasikan luas rumah subsidi akan semakin mengecil. Aturan ini nantinya akan mengatur batasan luas lahan, luas lantai, dan harga jual rumah dalam pelaksanaan Kredit/Pembiayaan Perumahan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan, serta besaran subsidi bantuan uang muka perumahan.
Aturan lama, yang tertuang dalam Keputusan Menteri PUPR Nomor 995/KPTS/M/2021, mengatur batasan penghasilan, suku bunga, masa subsidi, jangka waktu kredit, batasan luas tanah, luas lantai, harga jual rumah umum tapak dan satuan rumah susun umum, serta besaran subsidi bantuan uang muka.
Dengan aturan lama, banyak pengembang membangun rumah dengan luas terkecil 21 meter persegi, terutama di wilayah Bodetabek, meskipun ada juga yang membangun dengan luas 30 meter persegi.
Apakah Luas Rumah Subsidi Idealnya Berapa?
Usulan untuk memperkecil ukuran rumah subsidi sempat menuai penolakan. Anggota Satgas Perumahan, Bonny Z Minang, menegaskan bahwa Ketua Satgas Perumahan, Hashim Djojohadikusumo, tidak pernah menyetujui perubahan tersebut.
Menteri PKP, Maruarar Sirait, menjelaskan bahwa berdasarkan kunjungannya ke lapangan, banyak pembeli rumah subsidi adalah mereka yang masih single atau baru menikah. Ia juga menekankan pentingnya desain rumah yang baik, meskipun dengan lahan yang terbatas. Masak kita kalah dari masalah? Kalau tanahnya mahal, selama ini ruang bisa dibangun tingkat jadi kita jangan mau kalah dari masalah? Desain-desain rumahnya dari dulu gitu-gitu aja. Saya akan expose desain-desain rumah yang bagus, tegasnya.
Ketua Umum Asprumnas, M. Syawali, mengungkapkan bahwa luas bangunan 18 m2 pada rumah subsidi sebenarnya sudah pernah ada sejak lama. Tapi akhirnya perkembangan kebutuhan kemanusiawian ditingkatkan menjadi 21 lah ya, ujarnya.
Apa Dampaknya Jika Ukuran Rumah Subsidi Terlalu Kecil?
Jika ukuran rumah subsidi terlalu kecil, tentu akan menimbulkan ketidaknyamanan karena terasa sempit. Standar ideal luas rumah subsidi perlu mempertimbangkan kebutuhan ruang gerak dan aktivitas penghuninya. Keseimbangan antara harga yang terjangkau dan kualitas hidup yang layak menjadi kunci dalam menentukan ukuran rumah subsidi yang tepat.
Penting untuk diingat bahwa program Satu Juta Rumah bertujuan untuk menyediakan hunian yang layak bagi masyarakat. Oleh karena itu, aspek kualitas, kenyamanan, dan keberlanjutan perlu menjadi perhatian utama, selain dari sekadar kuantitas unit yang dibangun.