Jakarta punya cita-cita besar: menjadi pusat perfilman Indonesia, atau yang sering disebut Kota Sinema. Mimpi ini bukan isapan jempol belaka, lho! Sejak lama, pemerintah daerah sudah menunjukkan dukungan nyata untuk industri film tanah air.
Dulu, di era kepemimpinan Gubernur Fauzi Bowo, terbitlah Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 115 Tahun 2012. Isinya keren banget, yaitu pembebasan pajak hiburan sebesar 75% untuk produksi film. Kebijakan ini jadi angin segar buat para sineas, karena biaya produksi film jadi lebih ringan.
Namun, ada cerita menarik di balik Pergub ini. Di era Gubernur Joko Widodo (Jokowi), pembebasan pajak hiburan ini sempat diturunkan menjadi 50% melalui Peraturan Gubernur Nomor 148 Tahun 2014. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, kenapa ya kok bisa turun?
Kenapa Pembebasan Pajak Film Sempat Diturunkan?
Pertanyaan ini masih menjadi misteri. Belum ada penjelasan resmi mengapa kebijakan yang awalnya sangat mendukung perfilman ini mengalami perubahan. Padahal, selisih 25% itu lumayan banget buat biaya produksi film, kan?
Menurut Rano Karno, kebijakan pembebasan pajak ini sangat penting untuk membangun industri perfilman di Indonesia. Dengan adanya insentif pajak, produser film bisa mengalokasikan dana lebih untuk meningkatkan kualitas produksi, mulai dari pengembangan cerita, kualitas gambar, hingga promosi film.
Rano Karno juga menambahkan bahwa Jakarta adalah satu-satunya wilayah yang memberikan pembebasan pajak hiburan di antara kota-kota besar dengan jumlah penonton film yang signifikan. Ini menunjukkan komitmen Jakarta untuk mendukung perfilman nasional.
Apa Dampak Pembebasan Pajak Bagi Industri Film?
Pembebasan pajak hiburan punya dampak positif yang besar bagi industri film. Dengan biaya produksi yang lebih rendah, produser film bisa lebih berani mengambil risiko untuk membuat film-film berkualitas dengan cerita yang beragam. Selain itu, pembebasan pajak juga bisa menarik investor untuk menanamkan modal di industri film.
Dampak lainnya adalah terciptanya lapangan kerja baru di sektor perfilman. Semakin banyak film yang diproduksi, semakin banyak pula tenaga kerja yang dibutuhkan, mulai dari aktor, kru film, hingga tenaga pemasaran dan distribusi.
Selain itu, pembebasan pajak juga bisa meningkatkan daya saing film Indonesia di pasar internasional. Dengan kualitas produksi yang semakin baik, film Indonesia bisa lebih mudah bersaing dengan film-film dari negara lain.
Bagaimana Jakarta Mewujudkan Diri Jadi Kota Sinema?
Untuk mewujudkan mimpi menjadi Kota Sinema, Jakarta perlu melakukan berbagai upaya. Selain mempertahankan kebijakan pembebasan pajak hiburan, pemerintah daerah juga perlu memberikan dukungan lain, seperti:
- Memfasilitasi perizinan produksi film
- Menyediakan lokasi syuting yang menarik
- Mengadakan festival film berskala internasional
- Meningkatkan kualitas pendidikan perfilman
- Mendorong investasi di sektor perfilman
Selain itu, penting juga untuk menjalin kerjasama strategis antara pemerintah daerah dengan Kementerian Ekonomi Kreatif untuk menyelaraskan program pengembangan ekonomi film nasional dengan inisiatif di tingkat provinsi.
Dengan dukungan yang kuat dari pemerintah daerah dan kerjasama yang baik antara berbagai pihak, bukan tidak mungkin Jakarta akan menjadi pusat perfilman Indonesia yang gemilang. Kita tunggu saja gebrakan-gebrakan selanjutnya!
Pergub Nomor 1148 itu belum dicabut dan masih berlaku. Hal ini penting untuk diketahui, terutama bagi para Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Distribusi film di Indonesia terpusat di 7 provinsi besar: Medan, Palembang, Jakarta, Jawa Barat (Bandung), Semarang, Surabaya, Bali, dan Makassar. Kota-kota ini memiliki populasi penonton film yang sangat besar.