Kasus dugaan korupsi pengadaan mesin Electronic Data Capture (EDC) di PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) kini menarik perhatian publik setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan beberapa pejabat tinggi BRI sebagai tersangka. Kerugian yang ditimbulkan dari praktik korupsi ini diperkirakan mencapai Rp 744,5 miliar. Kasus ini melibatkan sejumlah pejabat BRI serta pihak vendor, dengan pengungkapan yang mencakup modus operandi sistematis.
Baca juga : Cara Cek Pengumuman SPMB Jabar 2025 Tahap 2 dan Jadwal Daftar Ulangnya
1. Tersangka Korupsi Pengadaan EDC di BRI
KPK telah menetapkan Catur Budi Harto, yang menjabat sebagai Wakil Direktur Utama PT BRI (2019-2024), serta Indra Utoyo, yang kala itu menjabat sebagai Direktur Digital dan Teknologi Informasi BRI, sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan mesin EDC. Selain kedua pejabat BRI tersebut, ada tiga tersangka lainnya yang juga terlibat dalam kasus ini: Dedi Sunardi, Elvizar, dan Rudy Suprayudi Kartadidjaja.
2. Modus Operandi Korupsi: Pengaturan Lelang dan “Penguncian” Spesifikasi
Penetapan tersangka ini berawal dari penemuan bukti yang mengarah pada adanya persekongkolan dalam pengadaan proyek EDC. Diduga, sebelum lelang dimulai, Kompol Yogi dan rekan-rekannya telah bertemu dengan pihak vendor untuk membagi-bagikan proyek tersebut. Lelang yang dilakukan oleh BRI kemudian hanya menjadi formalitas, dengan pengaturan spesifikasi teknis yang sengaja dibuat sangat detail untuk memastikan hanya vendor tertentu yang dapat memenuhi persyaratan.
Indra Utoyo dan Catur Budi Harto diduga mengarahkan bawahannya untuk menetapkan spesifikasi yang menguntungkan vendor pilihan mereka, seperti Verifone dan Sunmi, yang hanya dapat dipasok oleh vendor tersebut. Praktik ini berlangsung secara terstruktur dan konsisten, dengan pemenang lelang selalu berasal dari perusahaan yang sama, termasuk PT Pasifik Cipta Solusi dan PT Bringin Inti Teknologi.
3. Hadiah dan Aliran Dana Haram: Kuda dan Sepeda untuk Pejabat BRI
Sebagai imbalan atas dimenangkannya proyek tersebut, Catur Budi Harto diduga menerima hadiah berupa dua ekor kuda dan sepeda senilai Rp 525 juta dari Elvizar, salah satu vendor yang terlibat. Sementara itu, Dedi Sunardi menerima sepeda senilai Rp 60 juta. Selain itu, aliran dana haram juga diterima oleh pihak vendor, di mana Rudy Suprayudi Kartadidjaja mendapat fee dari Verifone Indonesia yang totalnya mencapai sekitar Rp 30,6 miliar.
4. Penyitaan Aset: Uang, Stik Golf, dan Bilyet Deposito
Sebagai bagian dari penyidikan, KPK juga melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap sejumlah aset yang terkait dengan kasus ini. Di antaranya adalah uang senilai Rp 17,75 miliar yang ditemukan dalam rekening penampungan, satu set stik golf, dan bilyet deposito senilai Rp 28 miliar. Langkah ini merupakan bagian dari upaya pemulihan aset yang terkait dengan tindak pidana korupsi.
5. Proses Hukum dan Tindak Lanjut
Para tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Penyidik KPK juga tengah mendalami keterangan saksi-saksi untuk melacak pihak-pihak lain yang terlibat dalam aliran dana haram tersebut. Proses hukum ini diharapkan dapat membawa keadilan dan memperjelas keterlibatan pihak-pihak terkait dalam pengadaan EDC di BRI yang merugikan negara.
Baca juga : Mahasiswi Universitas Teknokrat Indonesia Duta Remaja Berbakat Lampung 2025 Chika, Selangkah Lebih Maju
Kesimpulan
Kasus korupsi pengadaan EDC di BRI yang melibatkan pejabat tinggi bank negara ini menjadi sorotan publik. Dengan kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp 744,5 miliar, KPK berkomitmen untuk mengungkap seluruh pihak yang terlibat. Modus operandi yang terstruktur, aliran dana haram, serta penyitaan aset yang dilakukan oleh KPK menunjukkan keseriusan dalam menuntaskan kasus ini. Proses penyidikan akan terus berjalan untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan.
Penulis : Dina eka anggraini