Subuh Mencekam di Jawa: Tanah Berguncang, Warga Panik
Bencana bisa datang tanpa peringatan, seperti yang terjadi pada Senin, 10 Juni 1867. Saat sebagian besar penduduk Magelang masih terlelap, tepat pukul 04.00 pagi, guncangan gempa pertama terasa. Banyak warga yang menyadarinya, namun mengabaikannya karena tidak menyangka akan berlanjut.
Baca juga: Review Superman: James Gunn Menghancurkan Film Superhero
Tak lama berselang, gempa kedua mengguncang jauh lebih kuat. Suasana tenang pagi hari berubah drastis menjadi kepanikan. Warga berhamburan keluar rumah, berlari menyelamatkan diri dari bangunan yang mulai runtuh. Debu mengepul di udara, jeritan dan tangisan terdengar dari berbagai penjuru.
Yogyakarta Pusat Guncangan: Candi, Benteng, dan Ribuan Rumah Hancur
Belakangan diketahui, pusat gempa terletak di wilayah Yogyakarta. Dampak terparah terjadi di sana dan di kota-kota sekitarnya seperti Semarang, Surakarta, Madiun, hingga Banyuwangi.
Menurut catatan sejarah yang dikutip dari laporan de Locomotief (20 Juni 1867), gempa tersebut menyebabkan kehancuran besar. Ribuan rumah runtuh, ribuan jiwa melayang, dan bangunan-bangunan bersejarah seperti Candi Sewu, Tugu Golong Gilig, Tugu Pal Putih, hingga benteng peninggalan VOC roboh seketika.
Bencana yang Tak Mengenal Status Sosial
Gempa 1867 tak hanya melanda masyarakat pribumi, tetapi juga komunitas Belanda, Arab, dan Tionghoa yang tinggal di wilayah tersebut. Banyak dari mereka turut menjadi korban, termasuk kehilangan tempat tinggal dan harta benda.
Menurut Werner Kraus dalam buku Raden Saleh: Kehidupan dan Karyanya (2018), bencana tersebut adalah salah satu yang paling mematikan dalam sejarah Indonesia di era kolonial.
Rakyat Mengungsi, Pemerintah Kolonial Turun Tangan
Karena gempa susulan terus terjadi, banyak warga takut kembali ke rumah. Mereka memilih berdoa bersama dan berzikir memohon perlindungan Tuhan, sebagaimana dilaporkan Java Bode (27 Juni 1867).
Uniknya, pemerintah kolonial Belanda yang saat itu terkenal otoriter, ikut memberikan bantuan kemanusiaan, demikian juga pihak Kesultanan Yogyakarta yang turut bergerak membantu korban bencana.
BMKG Ungkap Magnitudo dan Penyebab Gempa Besar
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, menjelaskan bahwa gempa ini termasuk dalam kategori gempa besar dengan magnitudo 7,8. Episenter gempa terletak di Samudera Hindia, selatan Pulau Jawa, dan disebabkan oleh deformasi batuan dalam Lempeng Indo-Australia (intra-slab earthquake).
“Gempa ini adalah salah satu yang terkuat dalam sejarah Pulau Jawa, dengan dampak besar di Yogyakarta, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur. Korban jiwa diperkirakan mencapai 700 hingga 1.000 orang,” jelas Daryono melalui unggahan Instagram-nya.
Kenapa Tidak Ada Tsunami? Ini Penjelasannya
Ketika netizen bertanya di kolom komentar soal absennya tsunami, Daryono menjelaskan bahwa jenis gempa ini adalah gempa dalam, yang biasanya tidak memicu tsunami seperti gempa dangkal di dasar laut.
Gempa Serupa Kembali Terjadi pada 2006
Tragedi serupa pernah kembali mengguncang wilayah Yogyakarta pada 26 Mei 2006. Gempa berkekuatan M6,3 menyebabkan lebih dari 5.000 orang meninggal dunia, membuktikan bahwa wilayah ini memang rawan terhadap aktivitas tektonik.
Kesimpulan: Kesiapsiagaan Bencana Harus Terus Ditingkatkan
Gempa bumi besar tahun 1867 menjadi pengingat betapa pentingnya mitigasi bencana. Meski teknologi dan informasi saat ini jauh lebih canggih, sejarah membuktikan bahwa bencana tak mengenal zaman. Edukasi kebencanaan, sistem peringatan dini, dan kesiapan warga harus menjadi perhatian bersama.
Tags: gempa Yogyakarta 1867, sejarah gempa di Jawa, candi runtuh, bencana alam Indonesia, BMKG, gempa besar Indonesia, pusat gempa Yogyakarta, sejarah Indonesia
Baca juga: CPU Rusak? Tenang, Ini Cara Diagnosa & Solusi Ampuhnya!
Jika Anda ingin artikel ini diperkaya dengan infografis, kutipan sejarah, atau data visual untuk SEO visual, saya siap bantu!
Penulis: Nazwatun nurul inayah