Awal Pendudukan AS di Filipina: Dari Sekutu Menjadi Musuh
Pendudukan Amerika Serikat di Filipina dimulai pada 1 Mei 1898, dengan kekalahan armada Spanyol oleh komodor George Dewey di Teluk Manila. Dewey seharusnya membantu pasukan revolusioner Filipina di bawah komandan Jenderal Emilio Aguinaldo untuk mengusir penjajah Spanyol. Namun, dalam langkah yang penuh pengkhianatan, AS, yang awalnya menjadi sekutu, malah menjadi musuh dan menyerang pasukan Filipina. Hal ini memicu Perang Filipina-Amerika yang menyebabkan ribuan warga Filipina dibantai dan ratusan marinir AS tewas akibat luka tembak dan malaria. Akhirnya, Filipina jatuh ke tangan AS, yang menjadikannya sebagai kekuatan kolonial, dan pangkalan militer AS didirikan dan diperluas.
Baca juga : Apple Gugat Jon Prosser Terkait Kebocoran iOS 26
Peringatan atas Perjuangan Filipina untuk Kemerdekaan
Monumen yang ada mengingatkan pada perjuangan panjang Filipina untuk meraih kedaulatan dan kebebasan dari dominasi militer AS, serta penderitaan perempuan dan anak-anak yang dijadikan korban pelecehan seksual untuk memenuhi kebutuhan prajurit AS. Korupsi politik di Filipina juga turut memperparah kondisi ini, di mana politisi kaya dari praktik eksploitasi ini.
Kembalinya Keberadaan Militer AS dengan Perjanjian EDCA
Setelah 23 tahun bebas dari kehadiran militer AS, Presiden Filipina Benigno Aquino III menandatangani Perjanjian Kerja Sama Pertahanan yang Ditingkatkan (EDCA) pada 28 April 2014. Perjanjian ini memungkinkan militer AS untuk menempatkan pasukan dan persenjataan di pangkalan militer Filipina yang sudah ada atau yang dibangun khusus untuk menampung mereka.
Ekspansi Pangkalan Militer Filipina: Pangkalan Baru untuk AS
Pada 2023, Presiden Ferdinand Marcos Jr. memperluas jumlah pangkalan militer Filipina menjadi sembilan. Pangkalan-pangkalan ini, yang bisa diambil alih oleh militer AS, dipersenjatai dengan rudal dan drone untuk menghadapi ancaman dari China terhadap Taiwan yang dekat. China telah menduduki dan menguasai perairan pesisir Filipina dan membangun pangkalan di atol serta pulau-pulau di sepanjang garis pantai negara tersebut tanpa adanya upaya pencegahan yang efektif dari AS.
Rencana Pabrik Munisi di Subic Bay: Ancaman Keamanan dan Ekonomi
Kini, AS mengusulkan untuk mendirikan pabrik di bekas depot angkatan laut Subic Bay. Pabrik ini akan memproduksi amunisi dan merakit rudal serta drone (AMD) yang siap digunakan dalam menghadapi konflik dengan Beijing. Subic Bay, bersama dengan Filipina, menjadi sasaran utama bagi serangan rudal China, baik serangan awal maupun pembalasan.
Meningkatnya Ketegangan di Laut China Selatan
Ketegangan di Laut China Selatan semakin meningkat, dan proyek terbaru — AMD — dipandang sebagai persiapan bagi konflik AS-China. Meskipun politisi mungkin meraup keuntungan, pabrik AMD ini berpotensi menyebabkan kehancuran ekonomi saat investor mulai meninggalkan Filipina yang dianggap sebagai zona perang. Kehilangan pekerjaan dapat memicu bencana sosial-ekonomi bagi rakyat Filipina.
Dampak Sosial dan Ekonomi bagi Masyarakat Filipina
Hingga itu terjadi, seratusan prajurit dan warga AS akan ditempatkan di Subic Bay seiring dengan pembangunan pabrik. Mereka kembali akan mencari hiburan melalui alkohol, obat-obatan, dan pelecehan seksual. Apakah politisi lokal akan menyambut kembalinya kota yang terkenal dengan praktik eksploitasi anak seperti yang pernah terjadi di Olongapo?
Melawan Keburukan Sosial dan Melindungi yang Tak Bersalah
Jika ada cukup banyak rakyat Filipina yang berpegang pada nilai-nilai Injil, mereka dapat melawan kebangkitan kejahatan sosial ini dan berbuat baik untuk melindungi yang tak bersalah.
Penulis : Eka sri indah lestary