Vonis Tom Lembong Jadi Sorotan: Proses Peradilan Dinilai Politikus dan Legalistas

Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan 2015-2016, divonis 4,5 tahun penjara terkait dugaan korupsi importasi gula. Keputusan ini memicu beragam tanggapan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk pegiat antikorupsi, pengacara, dan akademisi hukum. Publik semakin kritis terhadap keputusan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, dan bahkan menggelar diskusi untuk mengkritik putusan tersebut.

Baca juga : 3 Calon Lawan Indonesia di Semifinal Piala AFF U-23 2025

Kejanggalan Putusan: Ekonomi Kapitalis Jadi Alasan Pidana?

Salah satu pembicara dalam forum diskusi yang diadakan Koalisi Masyarakat Sipil, Feri Amsari, seorang Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, menilai bahwa pertimbangan yang menyebut Tom Lembong sebagai bagian dari kebijakan ekonomi kapitalis adalah sebuah kejanggalan.

Feri mempertanyakan, jika pendekatan ekonomi kapitalis bisa dijadikan alasan hukum untuk menjatuhkan pidana, maka banyak orang yang seharusnya dipenjara.

“Jika ekonomi kapitalis menjadi alasan pidana, banyak orang di negeri ini yang seharusnya dipenjara. Sebagian besar masyarakat kita memang menganut sistem ekonomi kapitalis di berbagai titik,” ujar Feri di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Salemba, Jakarta.

Menurutnya, dalam kasus ini tidak terbukti adanya mens rea (niat jahat) dari Tom Lembong dalam menetapkan kebijakan impor gula. Ia menilai, hal ini menandakan bahwa Pasal 28D Ayat 1 Undang-Undang Dasar tentang hak perlakuan hukum yang sama dan adil tidak diterapkan dengan baik.


Politisasi Kasus: Apakah Ini Pengadilan Politik?

Feri Amsari juga menganggap bahwa kasus Tom Lembong ini berbau politis. Ia menduga proses peradilan ini digunakan untuk menekan pihak-pihak yang bukan lagi berada dalam lingkaran kekuasaan.

“Proses ini seperti political trial atau peradilan politik, di mana tujuannya adalah untuk membungkam oposisi,” tegas Feri.

Ia pun menyoroti ketidakadilan dalam penegakan hukum, dengan mempertanyakan mengapa pihak lain yang terlibat dalam kasus impor dan merugikan keuangan negara tidak dipidana, sementara Tom Lembong yang tak terbukti memiliki niat jahat justru dihukum.


Asas Kelalaian dan Keliru dalam Pertimbangan Hukum

Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Albert Aries, menyatakan bahwa pertimbangan hakim yang menyebut Tom Lembong lalai dan bersalah dalam kebijakan impor gula bisa dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi. Ia menilai bahwa kelalaian yang dipermasalahkan oleh hakim tidak cukup menjadi alasan untuk menjatuhkan hukuman pidana, karena dalam hukum pidana, harus ada unsur kesengajaan atau mens rea.

“Menganggap Tom Lembong bersalah karena kelalaian adalah pertimbangan yang keliru. Hal ini seharusnya dapat dibatalkan oleh pengadilan tinggi,” ujar Albert Aries.

Menurut Albert, dalam Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kelalaian hanya bisa dipersoalkan apabila ada niat jahat yang jelas dan tak bisa dipisahkan dari tindakan tersebut.


Tanggapan Pengadilan: Tak Ada Intervensi

Di sisi lain, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) membantah adanya intervensi politik dalam proses pengadilan Tom Lembong. Juru Bicara PN Jakpus, Andi Saputra, memastikan bahwa keputusan hukum dijatuhkan murni berdasarkan pertimbangan hukum dan fakta persidangan, tanpa ada pengaruh dari luar.

“Majelis hakim tidak terkontaminasi oleh isu politik atau tekanan. Keputusan ini diambil sepenuhnya berdasarkan fakta yang ada,” jelas Andi.

Andi juga menyarankan pihak yang merasa tidak puas dengan putusan ini untuk menempuh proses banding, dan meminta masyarakat untuk bersabar karena proses hukum masih berlangsung.

Baca juga : Tingkatkan Kuat Tekan Beton, Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Teknokrat Teliti Pengaruh Serat Bambu sebagai Bahan Tambah Alami


Kesimpulan: Publik Menantikan Proses Hukum yang Adil

Putusan Tom Lembong yang kontroversial membuka perdebatan luas di masyarakat. Isu politis dan kelalaian dalam pertimbangan hukum menjadi sorotan tajam dari kalangan akademisi dan pengacara. Dengan adanya potensi banding dan kritik terhadap penegakan hukum yang tidak adil, publik berharap agar proses hukum dapat berjalan dengan transparansi dan keadilan yang lebih baik.


Tom Lembong menjadi contoh bagaimana politik dan hukum bisa saling terkait dalam suatu kasus. Akankah keputusan pengadilan ini berdampak pada kepercayaan publik terhadap sistem peradilan Indonesia? Waktu yang akan menjawabnya.

Penulis : Eka sri indah lestary

More From Author

Daftar Mobil Baru yang Daftar Mobil Baru yang Diperkirakan Meluncur di GIIAS 2025 Meluncur di GIIAS 2025

Daftar Mobil Baru yang Diperkirakan Meluncur di GIIAS 2025

AFF Harap ASEAN U-16 Putri 2025 Jadi Perayaan Sepak Bola Wanita Asia Tenggara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Categories