Vonis 4,5 tahun penjara yang dijatuhkan kepada Tom Lembong, Menteri Perdagangan 2015-2016, terkait dugaan korupsi importasi gula, memicu banyak reaksi dan kritik dari berbagai kalangan, termasuk pengamat hukum. Salah satu pakar hukum pidana, Hieronymus Soerjatisnanta (Tisnanta), menilai bahwa keyakinan hakim dalam pembuktian perkara ini sangat krusial. Dalam pandangannya, meskipun ada dua alat bukti yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung, keputusan hakim tetap bergantung pada keyakinan mereka tentang kebenaran kasus tersebut.
Baca juga : IPO Figma Bisa Valuasi Perusahaan Desain Software Ini Hingga $16 Miliar
Pentingnya Keyakinan Hakim dalam Pembuktian
Tisnanta menegaskan bahwa dalam proses pembuktian, keyakinan hakim adalah elemen yang paling penting. Sebagai bagian dari proses hukum yang lebih luas, Kejaksaan Agung sudah mengumpulkan dua alat bukti yang dianggap sah oleh pengadilan. Namun, keputusan apakah bukti tersebut cukup kuat atau tidak sepenuhnya ada pada hakim yang memimpin persidangan.
“Prinsip dasarnya, jika penyidik baik polisi, KPK, ataupun kejaksaan terhadap pidana apapun, termasuk pidana korupsi, maka diawali dengan alat bukti. Di minimum dua alat bukti ini, apakah sudah terpenuhi atau belum,” kata Tisnanta. Meskipun alat bukti ada, proses pembuktian sering kali tidak bisa sepenuhnya jelas, sehingga bagi Tisnanta, keputusan akhir berada di tangan hakim yang harus mengandalkan keyakinan mereka.
Proses Hukum Masih Berlanjut
Tisnanta juga menyampaikan bahwa proses hukum belum selesai, dengan kemungkinan banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Ini berarti, meskipun vonis sudah dijatuhkan, masih ada ruang bagi pihak terkait untuk memperjuangkan keadilan. Tisnanta mengingatkan agar hakim berhati-hati dalam menyikapi kemungkinan perubahan keputusan selama proses banding.
Pertanggungjawaban Kebijakan dalam Kasus Tom Lembong
Dalam kasus ini, Tom Lembong dianggap memperkaya pihak lain melalui kebijakan impor gula yang kontroversial. Tisnanta mempertanyakan apakah kebijakan tersebut bisa dipertanggungjawabkan secara pribadi oleh Tom Lembong. Mengingat bahwa kebijakan tersebut dibuat dalam konteks yang lebih luas dan sudah dibahas dengan pihak-pihak terkait, termasuk pemerintah, Tisnanta merasa kebijakan tersebut tidak bisa sepenuhnya dianggap sebagai tindakan korupsi jika tidak ada niat jahat.
“Pertanyaannya adalah kebijakan Tom Lembong ini apakah layak dipertanggung jawabkan Tom Lembong secara pribadi, sebab kebijakan ini sudah dibahas dengan tidak sederhana,” ungkapnya. Dalam hal ini, Tisnanta menganggap bahwa jika kebijakan itu dilakukan tanpa niat jahat, maka Tom Lembong seharusnya tidak bisa dipidanakan.
Kritik terhadap Frase ‘Mendukung Kapitalisme’ dalam Putusan
Tisnanta juga menyampaikan kritik terhadap penggunaan frase ‘mendukung kapitalisme’ dalam putusan hakim yang dinilai tidak relevan dengan tuduhan pidana korupsi. Dalam konteks hukum pidana, kerugian negara harus dapat dihitung dengan jelas, dan Tisnanta meragukan adanya kerugian negara yang timbul dari kebijakan impor gula tersebut. “Yang utama sebenarnya kan kerugian perekonomian negara manakah yang terjadi dengan kebijakan impor gula tersebut. Adakah keguncangan ekonomi dengan kebijakan ini?” ujarnya.
Pentingnya Proses Kebijakan yang Terlibat
Tisnanta mengingatkan bahwa kebijakan impor gula yang diambil oleh Tom Lembong dilakukan dalam proses yang seharusnya diketahui presiden. Jika memang ada keguncangan ekonomi yang diakibatkan oleh kebijakan tersebut, Tisnanta berpendapat bahwa hal itu tidak bisa dipidanakan. Terlebih lagi, jika Tom Lembong tidak mendapatkan keuntungan pribadi dari kebijakan tersebut, maka keputusan untuk memidanakannya menjadi lebih diragukan.
Kesimpulan
Vonis terhadap Tom Lembong memicu banyak perdebatan, baik dari segi hukum maupun politik. Keyakinan hakim menjadi faktor penentu dalam keputusan akhir, namun penting untuk mempertanyakan relevansi beberapa pertimbangan dalam keputusan tersebut. Dalam kasus ini, penting untuk melihat apakah kebijakan yang diambil oleh Tom Lembong didasarkan pada niat jahat atau apakah justru merupakan bagian dari kebijakan ekonomi yang sah, meskipun berdampak pada beberapa pihak. Proses hukum lebih lanjut akan menentukan apakah putusan ini akan bertahan atau mengalami perubahan.
Penulis : Dina eka anggraini