Baru‑baru ini, muncul kabar bahwa penerima amplop di hajatan atau kondangan akan dikenai pajak oleh pemerintah. Namun, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan langsung memberikan klarifikasi tegas: tidak ada rencana dan tidak akan ada pemungutan pajak amplop kondangan.
Apa yang Disampaikan DJP?
Menurut Rosmauli, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP, isu pajak amplop kondangan muncul karena kesalahpahaman prinsip perpajakan. Dalam UU Pajak Penghasilan, semua bentuk peningkatan kemampuan ekonomis bisa dikenai pajak—tapi ada batasan.
Rosmauli menegaskan:
“DJP tidak melakukan pemungutan langsung di acara hajatan dan tidak memiliki rencana untuk itu” YouTube+6CNN Indonesia+6kontan.co.id+6.
Siapa yang Memicu Isu Ini?
Anggota Komisi VI DPR, Mufti Anam, sempat menyebut wacana ini dalam rapat kerja bersama BUMN dan MIND ID, ia meneruskan kabar dari masyarakat bahwa amplop kondangan mungkin akan kena pajak. Ia menyebut ini sebagai hal yang tragis jika benar terjadi Instagram+2kontan.co.id+2YouTube+2.
Namun, ketika dikonfirmasi DJP, pernyataan tersebut dibantah karena tidak berdasarkan kebijakan atau peraturan resmi.
baca juga : Laptop Ringan tapi Gahar Buat Programming, Cek Daftarnya!
Apa Saja yang Dibebankan Pajak PPh?
Secara umum, pajak penghasilan (PPh) dikenakan untuk:
- Penghasilan rutin dari pekerjaan atau usaha
- Keuntungan dari kegiatan ekonomi
- Hadiah atau bonus jika bersifat rutin dan terkait pekerjaan kontan.co.id
Sementara amplop kondangan yang bersifat pribadi, tidak rutin, dan tidak terkait pekerjaan tidak termasuk objek pajak dan tidak diprioritaskan untuk pengawasan.
Perbedaan Antara “Hadiah” dan “Amplop Sosial”
Bagi DJP, terdapat kategori berbeda antara pemberian hadiah dari pekerjaan dan amplop sosial:
- Hadiah dari pekerjaan (misalnya bonus, penghargaan perusahaan) dapat dikenai pajak jika rutin dan dalam skala besar.
- Amplop kondangan termasuk kategori pemberian pribadi, tidak rutin, dan tidak terkait hubungan profesional—jadi bebas pajak Instagram+5kontan.co.id+5Instagram+5.
Kenapa Masyarakat Bisa Salah Kaprah?
Penyebab munculnya rumor ini antara lain:
- Merosotnya penerimaan dividen BUMN yang mengurangi kas negara
- Kekhawatiran bahwa pemerintah akan mencari sumber justifikasi pajak baru kontan.co.id
- Kesalahan interpretasi terhadap pernyataan terkait penggunaan transaksi digital atau hadiah
Media sosial pun makin memperbesar hoaks ini, karena banyak orang belum memahami prinsip self-assessment dalam sistem perpajakan Indonesia.
Bagaimana Sistem Pelaporan Pajak di Indonesia?
Dengan prinsip self-assessment, setiap wajib pajak bertanggung jawab melaporkan sendiri penghasilannya melalui SPT tahunan. DJP tidak melakukan pemungutan langsung di tempat seperti acara hajatan—karena semua pendapatan non-rutin seperti amplop kondangan tidak menjadi bagian dari objek pelaporan wajib kontan.co.id+1CNN Indonesia+1.
Reaksi Publik dan Efek Media Sosial
- Masyarakat merasa cemas dan curiga, karena tradisi sosial tiba-tiba “dipajaki”.
- Media sosial dikuasai diskusi dan opini, bahkan hoaks ramai tersebar.
- Klarifikasi dari DJP diperlukan agar publik tidak panik atau salah mengambil kesimpulan.
Jadi, penting untuk memverifikasi informasi melalui sumber resmi guna mencegah kepanikan sosial.
Implikasi Jangka Pendek dan Jangka Panjang
- Jangka pendek: wacana palsu seperti ini berpotensi mengganggu acara sosial dan memicu kekhawatiran warga.
- Jangka panjang: mendorong peningkatan literasi pajak, kesadaran tentang hak dan kewajiban, serta mendorong DJP untuk lebih transparan dalam komunikasi publik.
Tips Bijak Memahami Informasi Pajak
- Selalu cek sumber resmi, seperti website DJP atau Kemenkeu
- Kenali kategori pajak dan pendapatan—apakah penerimaan bersifat rutin atau hadiah
- Waspada hoaks dan ungkapan sensasional di media sosial
- Edukasi diri tentang kewajiban pajak, lewat pusat-pusat edukasi pajak dan media pemerintah
penulis : Bagas Reyhan N.