Ketika Fashion Barat Kembali ‘Meminjam’ dari Timur
Baru-baru ini, rumah mode mewah Prada memicu perdebatan setelah memperkenalkan koleksi alas kaki dengan desain toe-ring — cincin jari kaki yang telah lama menjadi bagian dari budaya Asia Selatan, terutama India. Apa yang dianggap sebagai inovasi gaya oleh dunia fashion Barat, justru memunculkan pertanyaan penting: Apakah ini bentuk apresiasi budaya atau justru apropriasi yang dibungkus kemewahan?
baca juga : Bingung Instalasi? Ini Solusi Mudah dan Cepatnya!
Jejak Sejarah yang Dihapus dalam Balutan Mewah
Cincin kaki bukan sekadar aksesori. Dalam budaya India, toe-ring (bichiya) memiliki makna simbolik yang dalam, khususnya bagi perempuan yang telah menikah. Sayangnya, saat desain ini masuk ke runway Eropa, makna dan sejarahnya sering kali dilupakan atau dihapus, digantikan dengan label “tren baru”.
Contoh Lain yang Serupa:
- Bindis dan saree pernah dijadikan tren musim panas tanpa konteks budaya.
- Motif batik atau kain etnik digunakan di koleksi desainer global tanpa mengakui asal-usulnya.
- Gaya cornrows dan dreadlocks yang dinormalisasi di runway, tetapi dikriminalisasi saat digunakan oleh komunitas aslinya.
Fashion dan Neo-Kolonialisme: Gaya Lama dalam Kemasan Baru
Momen Prada ini memperlihatkan bagaimana neo-kolonialisme kultural masih hidup dan berkembang — bukan dengan kekerasan, tapi dengan estetika. Perampasan budaya tidak lagi berbentuk fisik, melainkan simbolik: mengambil elemen budaya Timur atau Global South, menghapus konteksnya, dan menjualnya kembali dengan harga tinggi.
Mengapa Pengakuan dan Kredibilitas Penting?
Jika rumah mode seperti Prada ingin “menghormati” budaya lain, maka pengakuan atas asal budaya dan kerja sama dengan komunitas asal adalah kunci. Ini bukan tentang melarang inspirasi lintas budaya, tapi tentang menghindari eksploitasi yang terjadi berulang kali dalam industri mode global.
Kesimpulan: Gaya Harus Disertai Kesadaran
Koleksi toe-ring Prada bukan sekadar soal sepatu — itu cerminan dari pola yang lebih besar: bagaimana Barat masih merasa berhak atas budaya orang lain, selama itu terlihat estetis. Fashion seharusnya menjadi ruang ekspresi dan penghormatan, bukan ladang eksploitasi gaya dengan mengabaikan sejarah dan makna.
penulis : Muhamad Anwar Fuadi