Memasuki akhir Juli 2025, musim kemarau mulai meluas di berbagai wilayah Indonesia. Namun, meski sebagian besar daerah sudah kering, sejumlah wilayah masih berpotensi mengalami hujan lebat disertai cuaca ekstrem. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat, kondisi atmosfer yang dinamis dan kompleks menjadi penyebab utama fenomena ini.
baca juga : Cara Cek PIP 2025 Lewat Aplikasi SIPINTAR: Mudah dan Cepat!
Hampir Separuh Wilayah Indonesia Sudah Memasuki Musim Kemarau
Menurut data BMKG, sekitar 45 persen Zona Musim (ZOM) di Indonesia telah resmi memasuki musim kemarau hingga dasarian III Juli 2025. Wilayah yang sudah terdampak meliputi:
- Sebagian besar Pulau Jawa
- Bali
- Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT)
- Sebagian wilayah Sumatera bagian selatan dan Sulawesi Selatan
Kondisi ini sesuai dengan siklus tahunan di mana kemarau mulai mendominasi wilayah Indonesia pada pertengahan hingga akhir tahun.
Daerah yang Masih Berpotensi Hujan Lebat
Meski kemarau meluas, beberapa daerah tetap mengalami curah hujan tinggi. BMKG mencatat adanya hujan lebat pada 20–21 Juli 2025 di:
- Stasiun Meteorologi Pattimura, Maluku: 110,0 mm/hari
- Stasiun Meteorologi Minangkabau, Sumatera Barat: 71,4 mm/hari
Dalam sepekan ke depan, potensi hujan dengan intensitas sedang hingga lebat masih bisa terjadi, terutama di:
- Sumatera bagian utara
- Kalimantan bagian barat
- Sulawesi bagian tengah
- Maluku
- Papua
Faktor Pemicu Cuaca Ekstrem: MJO hingga Gelombang Kelvin
BMKG menjelaskan bahwa dinamika atmosfer saat ini sangat aktif dan mendukung terbentuknya cuaca ekstrem. Beberapa fenomena meteorologi yang berpengaruh antara lain:
- Madden-Julian Oscillation (MJO) yang berada di Fase 5, memicu hujan di wilayah timur Indonesia
- Gelombang Rossby Ekuator yang aktif di sekitar Sumatera dan Kalimantan
- Gelombang Kelvin yang memperkuat pertumbuhan awan hujan di kawasan timur Indonesia
- Anomali suhu muka laut (SST) yang positif di sejumlah perairan Indonesia, meningkatkan uap air di atmosfer
Fenomena-fenomena ini menyebabkan aktivitas konvektif meningkat, sehingga potensi hujan lebat semakin besar.
Analisis Atmosfer: Kombinasi Skala Global, Regional, dan Lokal
Skala Global: ENSO dan SOI
Kondisi El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dan Dipole Mode saat ini dalam kategori netral. Namun, nilai Southern Oscillation Index (SOI) yang positif (+13,1) menunjukkan aliran udara basah dari Samudera Pasifik yang memperkuat suplai uap air di Indonesia, terutama kawasan timur.
Skala Regional: Aktivitas Konvektif Menguat
Pantauan Outgoing Longwave Radiation (OLR) menunjukkan peningkatan aktivitas konvektif, terutama di Sumatera bagian utara dan pesisir barat. Selain itu, kehadiran Bibit Siklon Tropis 97W di Laut Filipina, meskipun bergerak menjauh, ikut memicu konvergensi dan konfluensi angin yang berdampak pada pembentukan awan hujan.
Skala Lokal: Atmosfer Labil
Di tingkat lokal, labilitas atmosfer cukup tinggi di beberapa wilayah seperti:
- Aceh
- Sumatra Utara
- Kalimantan bagian besar
- Sulawesi Tengah dan Tenggara
- Maluku
- Sebagian besar wilayah Papua
Kondisi ini mendukung pertumbuhan awan-awan konvektif yang bisa menghasilkan hujan lebat, petir, dan angin kencang.
baca juga : Makanan Sehat, Hidup Sehat: Resep dan Tips Gaya Hidup Seimbang
Imbauan BMKG: Tetap Siaga Hadapi Cuaca Ekstrem
BMKG mengingatkan masyarakat dan pemerintah daerah untuk:
- Waspada terhadap potensi hujan lebat disertai kilat dan angin kencang
- Mengantisipasi risiko bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, dan pohon tumbang
- Memantau informasi cuaca resmi dari BMKG melalui website dan media sosial
- Menghindari aktivitas di luar ruangan saat terjadi cuaca ekstrem
Cuaca ekstrem dapat terjadi secara tiba-tiba, sehingga kewaspadaan menjadi kunci utama untuk menghindari dampak yang lebih besar.
penulis : elsandria