PDI Perjuangan kembali mengenang peristiwa Kudatuli yang terjadi 29 tahun lalu sebagai momen penting dalam sejarah demokrasi Indonesia. Dalam acara peringatan di Jakarta, Ketua DPP PDIP, Djarot Saiful Hidayat, menegaskan bahwa demokrasi hari ini telah jauh bergeser dari cita-cita para pendiri bangsa.
Baca juga: PDIP Soroti Demokrasi Indonesia yang Dinilai Melenceng dari Cita-Cita Pendiri Bangsa
Kudatuli, Tonggak Demokrasi Rakyat Kecil
Peristiwa Kudatuli—akronim dari Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli—terjadi pada tahun 1996, ketika kantor PDI yang dipimpin Megawati Soekarnoputri diserang oleh aparat di masa Orde Baru. Tragedi ini bukan hanya serangan fisik, tapi juga simbol dari upaya pembungkaman aspirasi politik rakyat kecil.
Dalam peringatan ke-29 tahun tersebut, Djarot menegaskan bahwa insiden ini menjadi titik awal arah baru demokrasi Indonesia. Ia mempertanyakan, apakah demokrasi hari ini masih benar-benar untuk rakyat, atau justru rakyat dijadikan alat untuk kepentingan politik.
“Peristiwa 27 Juli adalah momen refleksi. Apakah kita menginginkan demokrasi yang berpihak kepada rakyat, atau demokrasi yang justru memanfaatkan rakyat demi kekuasaan semata?” ujar Djarot.
Demokrasi yang “Dibajak”
Djarot tidak menahan kritik terhadap kondisi politik saat ini. Menurutnya, demokrasi Indonesia telah berubah arah menjadi alat transaksi kekuasaan. Rakyat bukan lagi subjek yang berdaulat, tetapi menjadi objek yang bisa dicatut, dibeli, bahkan dibajak.
“Rakyat hari ini dibajak demi lahirnya pemimpin-pemimpin, baik eksekutif maupun legislatif. Demokrasi yang kita jalani bukan lagi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat—tapi rakyat untuk demokrasi yang dikendalikan segelintir elite,” ucapnya dengan tegas.
Kritik ini mengarah pada praktik politik uang, pencatutan suara, dan berbagai bentuk manipulasi elektoral yang masih kerap terjadi dalam proses demokrasi di Indonesia.
Mengutip Bung Karno: Revolusi Belum Selesai
Dalam pidatonya, Djarot juga mengingatkan kembali pesan Presiden pertama RI, Soekarno, yang mengatakan bahwa revolusi Indonesia belum selesai sebelum rakyat mencapai keadilan sosial.
“Bung Karno menyatakan revolusi baru selesai jika rakyat sudah hidup adil dan makmur, bebas dari kemiskinan. Tapi sekarang, banyak yang merasa kita sudah di zona nyaman, seolah semuanya baik-baik saja,” katanya.
Ia mempertanyakan arah pembangunan saat ini, apakah benar menuju masyarakat yang sejahtera atau justru tergelincir ke dalam sistem kapitalistik yang hanya menguntungkan golongan tertentu.
Menurutnya, selama masih ada ketimpangan dan kemiskinan, perjuangan reformasi dan demokrasi belum usai. Demokrasi yang sehat, kata dia, harus memampukan rakyat untuk hidup layak dan sejahtera, bukan hanya memilih pemimpin lima tahun sekali.
Kudatuli dan Perjalanan Politik Djarot
Bagi Djarot pribadi, peristiwa Kudatuli bukan sekadar catatan sejarah, tapi juga bagian dari perjalanan hidupnya. Ia mengaku bisa menjadi Wali Kota Blitar, Wakil Gubernur, hingga Gubernur DKI Jakarta, karena gelombang perubahan politik yang dipicu oleh tragedi tersebut.
“Kita yang hari ini punya kesempatan memimpin, harus sadar bahwa semua ini bisa terjadi karena keberanian rakyat kecil melawan ketidakadilan saat itu,” katanya.
Oleh karena itu, ia mengajak seluruh kader PDIP dan masyarakat untuk terus menjaga semangat perjuangan tersebut. Demokrasi harus dikembalikan ke jalurnya: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Tantangan Demokrasi ke Depan
Pernyataan Djarot datang di tengah meningkatnya kekhawatiran publik atas kondisi demokrasi Indonesia saat ini. Laporan dari berbagai lembaga menyebutkan adanya kemunduran dalam hal kebebasan sipil, netralitas lembaga negara, hingga keterbukaan politik.
PDIP sebagai partai besar yang lahir dari rahim perjuangan rakyat, merasa memiliki tanggung jawab moral untuk mengingatkan dan mengoreksi arah perjalanan bangsa. Kudatuli, dalam konteks ini, bukan sekadar tragedi masa lalu, tapi juga peringatan abadi tentang harga mahal demokrasi.
Kini, 29 tahun setelah insiden itu, rakyat kembali dihadapkan pada pertanyaan yang sama: untuk siapa demokrasi ini dijalankan?
Penulis : Eka sri indah lestary