Kudatuli Disebut sebagai Tonggak Reformasi oleh PDIP
Ketua DPP PDI Perjuangan, Ribka Tjiptaning, menegaskan bahwa peristiwa 27 Juli 1996 atau yang dikenal sebagai Kudatuli merupakan salah satu momentum penting dalam sejarah politik Indonesia. Menurut Ribka, tanpa adanya Kudatuli, perjalanan menuju reformasi dan demokratisasi di Indonesia mungkin tak akan pernah terjadi.
“Tanpa Kudatuli, tidak akan ada reformasi dan perjuangan demokrasi. Tanggal 27 Juli adalah tonggak penting dalam sejarah perjuangan,” ujar Ribka dalam peringatan Kudatuli yang digelar di Kantor DPP PDIP, Jakarta Pusat.
baca juga : Banjarnegara Siap Tempur di Kualifikasi Porprov Tenis 2025, Target Lolos Penuh
Dari Buruh Hingga Tukang Kayu Bisa Jadi Pemimpin
Dalam pernyataannya, Ribka menyoroti bahwa Kudatuli membuka jalan bagi masyarakat dari berbagai kalangan untuk terlibat dalam dunia politik, termasuk menjadi pemimpin. Ia menyebutkan bahwa peristiwa tersebut memberikan ruang bagi anak-anak dari keluarga sederhana, seperti buruh, petani, hingga tukang kayu, untuk bisa menjadi anggota DPR hingga Presiden.
“Tanpa 27 Juli, tidak akan ada anak buruh jadi anggota DPR. Tidak ada anak petani jadi gubernur. Tidak ada anak tukang kayu jadi presiden. Walaupun sekarang sudah error, ya itu nasib,” tambahnya, menyindir situasi politik saat ini.
Projo Setuju Kudatuli Penting, tapi Kritisi Sindiran ke Presiden
Wakil Ketua Umum Projo, Freddy Damanik, menanggapi pernyataan Ribka tersebut dengan nada setuju dan kritik sekaligus. Ia sependapat bahwa Kudatuli adalah momen penting dalam perjalanan PDI Perjuangan. Namun, terkait pernyataan tentang “anak tukang kayu jadi presiden,” ia mengingatkan bahwa tanpa PDIP, mungkin tidak akan ada juga Presiden Megawati atau Presiden Jokowi.
“Kalau benar begitu, maka logikanya sama: tanpa PDIP, tidak akan ada anak Proklamator yang jadi Presiden, atau Jokowi yang berasal dari keluarga sederhana,” ujar Freddy.
Sindiran “Sudah Error” Dinilai sebagai Ungkapan Sakit Hati
Freddy juga menanggapi sindiran Ribka yang menyebut anak tukang kayu tersebut kini sudah “error”. Ia menilai pernyataan itu muncul dari rasa kecewa atau sakit hati. Namun, ia menyarankan agar PDIP introspeksi terhadap posisinya saat ini, terutama setelah hasil Pemilu 2024.
“PDIP harus bertanya apakah masih layak disebut partainya wong cilik? Karena pada Pilpres 2024, wong cilik justru lebih banyak memilih Prabowo-Gibran yang didukung Presiden Jokowi dan Koalisi Indonesia Maju,” ungkapnya
penulis : elsandria