Dunia pendidikan kembali menjadi perbincangan hangat. Kali ini, sorotan tertuju pada sebuah Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTSN) di Tangerang, di mana sejumlah orang tua murid merasa resah dengan adanya pungutan-pungutan yang dinilai memberatkan.
Seorang wali murid yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan kekecewaannya. Ia menuturkan, baru beberapa bulan lalu membayar biaya daftar ulang, kini harus kembali merogoh kocek untuk kegiatan Pramuka. Minggu ini juga harus membayar lagi 500 ribu rupiah per siswa untuk kegiatan Pramuka, padahal hanya 4 bulan yang lalu kami baru membayar biaya daftar ulang sebesar 500 ribu rupiah, ujarnya dengan nada prihatin.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa praktik serupa sudah terjadi sejak anak pertamanya bersekolah di MTS tersebut, dan kini terulang kembali pada anak keduanya yang baru masuk. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai pengelolaan dana pendidikan dan transparansi kebijakan yang diterapkan oleh pihak sekolah dan komite.
Apakah Komite Sekolah Boleh Melakukan Pungutan?
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 44 Tahun 2012 dan Permendikbud No. 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah, komite sekolah seharusnya menjadi wadah aspirasi bagi orang tua murid. Idealnya, komite berfungsi sebagai jembatan antara sekolah dan orang tua, menyalurkan masukan dan membantu meningkatkan kualitas pendidikan.
Namun, dalam praktiknya, komite sekolah seringkali dianggap sebagai perpanjangan tangan sekolah untuk melakukan pungutan yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Permendikbud No. 75 Tahun 2016 secara tegas melarang komite sekolah melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya. Pungutan hanya diperbolehkan jika merupakan sumbangan sukarela yang tidak mengikat dan tidak ditentukan jumlahnya.
Ironisnya, di MTSN 5 Tangerang, komite madrasah diketahui telah mengumpulkan para orang tua murid dan meminta bantuan dengan nominal yang cukup besar, mencapai 1.2 juta rupiah. Alasan yang diberikan adalah untuk perbaikan toilet dan pelebaran musholla. Hal ini tentu saja menimbulkan tanda tanya besar, apakah pungutan tersebut sesuai dengan aturan yang berlaku atau justru melanggar Permendikbud?
Dana BOS Kemana?
Pertanyaan lain yang muncul adalah mengenai penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dana BOS seharusnya dapat digunakan untuk membiayai berbagai kebutuhan sekolah, termasuk perbaikan fasilitas. Jika dana BOS mencukupi, mengapa masih perlu ada pungutan dari orang tua murid untuk perbaikan toilet dan musholla?
Transparansi dalam pengelolaan dana BOS menjadi sangat penting. Pihak sekolah seharusnya memberikan laporan yang jelas dan terbuka mengenai penggunaan dana BOS kepada orang tua murid. Dengan demikian, orang tua dapat mengetahui secara pasti ke mana dana BOS dialokasikan dan apakah penggunaannya sudah sesuai dengan kebutuhan sekolah.
Bagaimana Nasib Pendidikan Anak-Anak Kita?
Kasus pungutan di MTSN 5 Tangerang ini menjadi contoh nyata permasalahan yang masih menghantui dunia pendidikan di Indonesia. Pungutan-pungutan yang tidak jelas dan memberatkan orang tua murid dapat menghambat akses pendidikan bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Pemerintah dan pihak terkait perlu mengambil tindakan tegas untuk menindak praktik pungutan liar di sekolah-sekolah. Pengawasan yang ketat dan sanksi yang berat perlu diterapkan agar praktik serupa tidak terulang kembali. Selain itu, perlu adanya sosialisasi yang lebih gencar mengenai aturan-aturan terkait pengelolaan dana pendidikan kepada seluruh pihak, termasuk sekolah, komite sekolah, dan orang tua murid.
Pendidikan adalah hak setiap anak bangsa. Jangan sampai masalah pungutan liar menghalangi anak-anak kita untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan meraih masa depan yang cerah.