Dunia pendidikan Indonesia sedang menghadapi tantangan serius terkait integritas. Temuan survei dan kasus kecurangan yang terungkap belakangan ini menjadi sorotan tajam. Seorang pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dede Puji Setiono, PhD, menekankan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan untuk mengatasi masalah ini.
Menurut Dede, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) serta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) perlu merancang program integritas yang berbasis bukti. Hal ini penting mengingat penurunan Indeks Integritas Pendidikan (IIP) pada tahun 2024 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Penurunan ini menjadi sinyal bahwa nilai-nilai integritas belum sepenuhnya tertanam dalam sistem pendidikan.
Mengapa Kecurangan Masih Marak di Sekolah dan Kampus?
Survei Penilaian Integritas (SPI) menunjukkan angka yang mengkhawatirkan: 78% kasus menyontek terjadi di sekolah dan 98% di kampus. Temuan ini mengindikasikan bahwa sistem pendidikan masih berkutat antara idealisme dan realitas pragmatis. Dede mencontohkan sistem pendidikan di Finlandia yang fleksibel dan minim ujian standar, sebagai perbandingan.
Selain itu, survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mengungkap fakta memprihatinkan tentang kecurangan siswa. Dede menyarankan agar slogan kejujuran itu mahal diubah, karena slogan tersebut justru membuat siswa berpikir bahwa jujur adalah tindakan yang naif.
Untuk mengatasi masalah ini, Dede mengusulkan beberapa solusi konkret. Salah satunya adalah memasukkan modul anti-korupsi ke dalam kurikulum pelatihan guru. Selain itu, perlu ada sistem penghargaan yang transparan bagi sekolah yang berhasil menanamkan nilai-nilai integritas.
Bagaimana Mencegah Nepotisme dan Gratifikasi di Kampus?
Kasus perjokian pada Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) untuk masuk perguruan tinggi negeri menjadi contoh nyata kurangnya integritas. Panitia Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) melaporkan adanya 50 peserta yang menggunakan jasa joki. Para joki tersebut telah diserahkan ke kepolisian, dan peserta yang curang otomatis didiskualifikasi.
Untuk mencegah nepotisme dan kecurangan di kampus, Dede mengusulkan kebijakan yang lebih radikal. Salah satunya adalah menerapkan prinsip blind selection saat penilaian proposal, di mana nama perusahaan dan pemiliknya disembunyikan. Selain itu, kampus harus memanfaatkan jasa auditor independen, bukan hanya panitia internal, dalam pengadaan barang.
Praktik gratifikasi juga harus dicegah dengan mempublikasikan rincian anggaran secara real time. Dede juga menekankan pentingnya sanksi yang tegas. Rektor atau kepala sekolah yang terbukti melakukan nepotisme harus dicabut jabatannya, bukan hanya diberi teguran.
Apa yang Bisa Dilakukan Pelajar untuk Meningkatkan Integritas?
Dede berpesan kepada para pelajar untuk mulai membiasakan diri dengan kejujuran, mulai dari hal-hal kecil. Ia mengajak untuk melakukan revolusi mindset, di mana pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tetapi juga pembentukan karakter.
Kurikulum perlu diperbaiki dengan mengurangi jam hafalan dan menambahkan proyek sosial yang melatih empati dan kejujuran. Dede menekankan bahwa integritas adalah investasi, bukan beban. Dengan menanamkan nilai-nilai integritas sejak dini, diharapkan generasi muda Indonesia dapat menjadi pemimpin yang jujur dan bertanggung jawab di masa depan.
Tabel: Contoh Program Peningkatan Integritas
Program | Deskripsi |
---|---|
Modul Anti-Korupsi | Memasukkan materi anti-korupsi ke dalam kurikulum pelatihan guru. |
Sistem Penghargaan Transparan | Memberikan penghargaan kepada sekolah yang berhasil menanamkan nilai-nilai integritas. |
Prinsip Blind Selection | Menyembunyikan identitas perusahaan saat penilaian proposal. |
Audit Independen | Menggunakan jasa auditor independen dalam pengadaan barang. |