Polemik mengenai status direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai penyelenggara negara kembali mencuat. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) angkat bicara mengenai potensi kontradiksi dalam Undang-Undang (UU) BUMN terkait hal ini.
Ketua KPK, Setyo Budiyanto, menyampaikan bahwa terdapat pasal dalam UU BUMN yang mengatur bahwa direksi BUMN bukan termasuk penyelenggara negara. Menurutnya, ketentuan ini bertentangan dengan UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). UU tersebut secara jelas mendefinisikan ruang lingkup penyelenggara negara.
Setyo menjelaskan bahwa UU 28/1999 merupakan landasan hukum administrasi khusus yang bertujuan untuk mengatur penyelenggara negara agar terhindar dari praktik KKN. Meskipun demikian, ia menegaskan bahwa KPK tetap dapat menindak kasus korupsi di BUMN jika memenuhi unsur-unsur tertentu.
Kapan KPK Bisa Menangani Kasus Korupsi di BUMN?
KPK berpegang pada prinsip bahwa penindakan korupsi di BUMN tetap dapat dilakukan jika terdapat penyelenggara negara yang terlibat, kerugian keuangan negara, atau kombinasi keduanya. Dengan kata lain, meskipun ada pasal yang mengatur direksi BUMN bukan penyelenggara negara, KPK tetap memiliki wewenang jika unsur-unsur korupsi terpenuhi.
Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, turut memberikan tanggapan terkait isu ini. Ia mendorong semua pihak untuk melihat persoalan hukum ini secara komprehensif, termasuk dengan mempertimbangkan regulasi lain yang berkaitan dengan keuangan negara.
Mufti mencontohkan, jika perencanaan bisnis BUMN tidak dilakukan dengan benar atau bahkan terdapat indikasi fraud dan korupsi, maka tindakan pidana dapat dikenakan. Ia juga meyakinkan bahwa aparat penegak hukum, termasuk KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian, memiliki komitmen untuk menindak tegas jika terjadi tindak pidana korupsi di BUMN.
Apakah UU BUMN Membatasi Kewenangan KPK?
Mufti Anam menegaskan bahwa UU BUMN tidak serta merta membatasi kewenangan KPK dalam mengusut kasus korupsi. Ia menekankan pentingnya melihat persoalan ini secara integral dengan mempertimbangkan regulasi lain yang berkaitan dengan keuangan negara. Menurutnya, penindakan hukum tetap dapat dilakukan jika ada dugaan tindak pidana korupsi di BUMN.
Pernyataan ini sejalan dengan pandangan KPK bahwa penegakan hukum atas korupsi di BUMN merupakan upaya untuk menjaga perusahaan tetap sehat dan berkinerja baik. Semua pihak, termasuk Kementerian BUMN, sepakat bahwa jika ada indikasi korupsi di BUMN, proses hukum harus tetap berjalan.
Bagaimana Jika Perencanaan Bisnis BUMN Tidak Tepat?
Mufti Anam memberikan contoh konkret mengenai bagaimana penindakan hukum dapat dilakukan jika perencanaan bisnis BUMN tidak dilakukan dengan benar atau bahkan terdapat indikasi fraud dan korupsi. Dalam kasus seperti ini, tindakan pidana dapat dikenakan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab.
Hal ini menunjukkan bahwa aparat penegak hukum tidak hanya fokus pada kerugian keuangan negara yang sudah terjadi, tetapi juga pada potensi kerugian yang timbul akibat perencanaan bisnis yang buruk atau tindakan yang melanggar hukum. Dengan demikian, diharapkan BUMN dapat dikelola secara transparan dan akuntabel, serta terhindar dari praktik korupsi.
KPK sendiri menegaskan akan terus berpedoman pada aturan yang berlaku dan akan menindaklanjuti setiap laporan atau indikasi korupsi di BUMN sesuai dengan kewenangannya. Hal ini dilakukan demi menjaga kepercayaan publik dan memastikan bahwa BUMN dapat memberikan kontribusi maksimal bagi pembangunan negara.