Isu kepemilikan empat pulau yang sebelumnya masuk wilayah Aceh kini menjadi perbincangan hangat. Empat pulau tersebut, yaitu Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Ketek (Mangkir Kecil), dan Pulau Mangkir Gadang (Mangkir Besar), kini secara administratif berada di bawah Provinsi Sumatera Utara. Bagaimana bisa terjadi?
Perubahan ini bermula dari Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138/2025 yang diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Kepmendagri ini mengatur tentang pemberian dan pemutakhiran kode serta data wilayah administrasi pemerintahan dan pulau.
Menurut Direktur Jenderal Bina Administrasi Kewilayahan (Dirjen Adwil) Kemendagri, Safrizal Zakaria Ali, sebelum keputusan ini terbit, tim pembaruan rupa bumi dari Sumatera Utara dan Aceh sama-sama melakukan verifikasi dan identifikasi pulau-pulau yang masuk ke dalam wilayah masing-masing.
Kenapa Empat Pulau Ini Bisa Pindah ke Sumatera Utara?
Safrizal menjelaskan bahwa tim rupa bumi Sumatera Utara mengklaim ada 213 pulau yang masuk wilayah mereka, termasuk empat pulau yang kini menjadi sengketa. Klaim ini kemudian dikonfirmasi oleh Gubernur Sumatera Utara melalui surat nomor 125 tahun 2009, yang menyatakan bahwa Provinsi Sumatera Utara terdiri dari 213 pulau, termasuk empat pulau tersebut.
Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138/2025 yang terbit pada 25 April 2025, secara resmi menetapkan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil tersebut masuk ke wilayah Sumatera Utara. Hal ini tentu menimbulkan reaksi dari berbagai pihak, terutama masyarakat Aceh.
Wakil Ketua DPR RI, Dasco, menyatakan bahwa DPR RI telah berkomunikasi dengan Presiden RI Prabowo Subianto terkait polemik pemindahan kepemilikan pulau ini. Pemerintah diharapkan dapat segera mengambil langkah-langkah yang bijak dan adil untuk menyelesaikan masalah ini.
Apa Dampak dari Perubahan Status Kepemilikan Pulau Ini?
Perubahan status kepemilikan pulau ini tentu memiliki dampak yang signifikan, baik secara administratif, ekonomi, maupun sosial. Secara administratif, perubahan ini akan mempengaruhi pengelolaan wilayah dan sumber daya alam di pulau-pulau tersebut. Secara ekonomi, perubahan ini dapat mempengaruhi sektor pariwisata dan perikanan di wilayah tersebut. Secara sosial, perubahan ini dapat menimbulkan ketegangan antara masyarakat Aceh dan Sumatera Utara.
Penting bagi pemerintah untuk melakukan sosialisasi dan koordinasi yang intensif dengan semua pihak terkait, termasuk pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan masyarakat setempat, untuk meminimalkan dampak negatif dari perubahan ini.
Bagaimana Seharusnya Sengketa Wilayah Seperti Ini Diselesaikan?
Sengketa wilayah seperti ini bukanlah hal baru di Indonesia. Untuk menyelesaikan sengketa wilayah secara adil dan berkelanjutan, beberapa hal perlu diperhatikan:
- Verifikasi Data yang Akurat: Pemerintah perlu melakukan verifikasi data yang akurat dan komprehensif mengenai batas wilayah, sejarah kepemilikan, dan kondisi geografis wilayah yang bersengketa.
- Dialog dan Musyawarah: Pemerintah perlu memfasilitasi dialog dan musyawarah antara pihak-pihak yang bersengketa untuk mencari solusi yang saling menguntungkan.
- Keterlibatan Masyarakat: Pemerintah perlu melibatkan masyarakat setempat dalam proses penyelesaian sengketa, karena merekalah yang paling merasakan dampak dari keputusan yang diambil.
- Keputusan yang Adil dan Transparan: Pemerintah perlu mengambil keputusan yang adil dan transparan, berdasarkan data yang akurat, hasil dialog, dan aspirasi masyarakat.
- Penegakan Hukum: Pemerintah perlu menegakkan hukum secara tegas terhadap pihak-pihak yang melanggar kesepakatan atau melakukan tindakan yang dapat memperkeruh suasana.
Kasus sengketa empat pulau ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua tentang pentingnya pengelolaan wilayah yang baik, koordinasi yang efektif antara pemerintah pusat dan daerah, serta partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan.
Semoga masalah ini dapat segera diselesaikan dengan baik, sehingga tidak menimbulkan dampak negatif yang berkepanjangan bagi masyarakat Aceh dan Sumatera Utara.